Mudah-mudahan Allah Memberi Kalian Keberkahan dan Melimpahkan atas Kalian Keberkahan, Ran

Jika ada kata-kata yang bisa memekarkan makna seperti bunga seulanga berwarna cerah dan indah, akan kukirim setangkainya ke hadapan matamu yang terang bercahaya karena ada suatu perayaan di sana, dan aku ingin mengucapkan “barakallahu lakum wa baraka alaikum” kepada kalian berdua dengan kata-kata seperti itu
dari kejauhan jarak dan kedekatan sajak……

(STAR 957. Tangerang Selatan, 05032016, 16.42)

Aside

Ode Kerinduan (II)

:Ran Jr

selalu ada rindu yang gagal diterjemahkan mataku yang jauh
padahal ada waktu yang menganjal jarak agar kita tak dekat

kuantar rindu yang sabar memberi kabar
semenjak kata-kata lupa berbicara pada kita, apakah kau mau mendengar?

pada sebuah jarak yang tak bisa kau sentuh
ada kerinduan yang ingin berlabuh
pada sajadah basahku ketika separuh usia tubuh telah luruh……

(STAR 914. METU, 06012015, 19.54)

Ode Kerinduan (I)

:Ran Jr

Kita tak pernah kehabisan kata,
kita hanya kehilangan masa
untuk menyampaikan kata yang lama tersimpan
sebagai untaian kerinduan.

Kita pernah berteman dengan sejumlah kata sifat yang tak punya kerja lain selain bermain dengan perasaan yang sebelumnya tak kita kenal
tetapi kita telah duluan berkawan dengan kerinduan yang kekal
yang setia menerjemahkan bahasa kata sifat
sehingga dengannya kita juga bisa bersahabat.

(STAR 902. METU, 16112014, 10.57)

Ran, Kerinduan Adalah Tangan yang Sanggup Menggapai Namun Tak Cukup Sampai

biarkan takdir menafsir kata kerinduan
yang berulang-ulang kita tuliskan

(STAR 899. Erkam Evi, 24092014, 23.45)

HBD, Ran!

Engkau kirim musim kemarau berkepanjangan

dari langit yang bergemuruh sebelum badai kecemasan, yang basah setelah rinai kerinduan,

dari langit yang teduh menaungi kami dari jauh

 

sehingga persahabatan ini

seperti biji buah di tengah padang gersang

yang tabah serta risau menunggu curah hujan berkah

agar akar dan tunas lekas tumbuh di tubuh basahnya

sehingga ia kembali menjadi pohon yang berbatang kuat, bercabang lebat, dan berdaun rindang.

 

aku tahu

cuaca tak menolak kehendak-Mu.

 

aku tahu

sejak lahir sudah ada takdir pergiliran musim dari waktuku ke waktu-Mu.

 

***

 

Kita hanya punya beberapa kata untuk bertanya

tapi ada banyak kata ketika kita menebak

mengira-ngira

menerka apa atau siapa

atau berapa usia yang bertambah untuk mengurangi jatah waktu dunia fana.

 

***

 

Tidak ada kata terlambat

untuk menambatkan makna usia pada sajak

yang berulang-ulang kali merayakan hari lahir yang terikat takdir.

 

***

 

Tak apa-apa jika padam segala sinar cahaya di sekelilingmu,

masih ada nyala dalam binar matamu yang tak terpejamkan waktu

yang terang selalu

menerangi puisi-puisiku.

 

***

 

Selamat berulang tahun!

 

 

(STAR 895. Erkam Evi, 05062014, 19.21)

Sajak yang Merentang Jarak

Ran, sejak kapan kerinduan tumbuh di antara dua jarak yang terbentang jauh?

Ran, kita gali lagi kata-kata yang tertimbun di kurun waktu sebagai harta karun yang bisa berkilau hingga ke masa lampau dan di masa depan kata-kata itu akan menerangi jalan puisi ini

Ran, sejak kapan kerinduan ada di sajak yang merentang jarak terjauh?

(STAR 893. Wisma KBRI, 17082014, 16.44)

Ran; Sebuah Ingatan dan Kenangan

Ran, adalah kenangan yang samar-samar menyamar sebagai kembaran ingatan. Padahal mereka dilahirkan dari rahim kata yang berbeda.

Ran, kenangan lahir dari perasaan kehilangan. Sesuatu yang ditakdirkan ada dari ketiadaan. Hanya untuk mengenang yang hilang, tapi susah ditemukan, bukan?

Ran, ingatan berasal dari hal-hal masa lalu yang membaur dengan perihal masa sekarang. Sesuatu yang didaur ulang dari kenyataan, tapi mudah dilupakan, bukan?

(SeuLanga 53. Yıldız Evi, 21012014, 17.06)

Seperti Hujan dalam Ingatan, Ran

Ran, pada awalnya kata-kata hanya berserakan di bawah langit musim gugur kota ini. Sama seperti empat tahun lalu. Sebelum aku merangkainya jadi bertangkai-tangkai sajak. Untukmu.

Ran, tak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan, bukan? Meskipun di saat itu juga ia pura-pura lupa untuk mengenalkan teman dekatnya, si perpisahan, yang dirahasiakannya kepada kita. Sekarang kita tak bisa menyalahkannya sebab kita mengira ia hanya berteman dengan kita saja.

Ran, tak ada yang bisa melepas dengan lekas, bukan? Bukankah langit biru perlu waktu untuk murung dulu sebelum menurunkan hujan itu?

Ran, seperti hujan dalam ingatan. Kita bisa menyentuh rintik rindunya lebih lama. Dan yang basah bukanlah kita, tapi kata. Kata yang membasuh tubuhnya dengan air hujan ingatan. Lalu kita akan mengenang kata yang tergenang. Akankah ia tenggelam dan maknanya nyalang sebentar sebelum benar-benar hilang?

Ran, tak ada yang bisa membaca k i t a seutuhnya. Nyatanya persahabatan itu belum terurai sempurna dengan sepenuh k a t a. Semisal akar yang terjuntai ke kedalaman pencarian dan tak lagi mencari jalan pulang ke pangkal asal. Yang tersembunyi di bawah tanah sendiri. Yang keberadaannya hanya bisa disentuh seutuhnya oleh batang, reranting, dedaunan hijau atau kering itu. Biar angin yang membelai sebentar pucuk pohon di atasnya berlalu setelah lelah berkabar tentang rapuhnya tempat persinggahannya.

(SeuLanga 52. Hisar Evi, 30102013, 23.23)

Ran 22

/1/
Ran, gemuruh ombak tak berhenti menabuhkan kerinduan ke tempat-tempat persinggahan. Sebab selalu saja ada yang menunggu dalam kepastian kata.

/2/
Ran, pada kenangan lama juga kita berlabuh setelah ombak tak berkepastian itu bergemuruh ke segala arah.

Sebelum badai kecemasan kembali terhempas dan menjauhkan kita dari kata, biarkan kekuatannya mempersatukan kita dalam persahabatan nyata.

/3/
Ran, aku selalu dekat meskipun terlihat melesat sejauh-jauh angin.

Mana mungkin aku bisa melupakan. Sebab pada jarak kerinduan senantiasa terpasung.

/4/
Ran, senja selalu membuatku ingin membayangkan laut yang cemburu pada kemilau jingga. Barangkali ombak itu bergemuruh karenanya.

/5/
Ran, barangkali aku sebilah galah yang kalah sebab tak bisa menyabit pucuk-pucuk kesalahan yang menghijau sepanjang kemarau hati.

Maafkan.

/6/
Ran, berbait-bait kata telah berlayar ke sunyimu. Mungkin mereka ingin mendengar suara mimpimu.

Detak pergantian usia terdengar merdu. Pagi terbangun dengan kemilau cahaya baru.

/7/
Ran, pernah kita bersua di tepi masa, di bawah langit senja. Aku tak berkata apa-apa. Tetapi kau lekas membaca hikayat diamku. Lalu kita berkenalan dan terus mencatat pertemuan itu sebagai awal persahabatan.

Hari ini aku juga ingin membaca hikayat sunyimu.

/8/
Ran, gemericik ombak mengajak kata bersajak tentang persinggahan yang memikat.

Tetapi aku ingin singgah di sini saja.

/9/
Ran, ingin kusampaikan kabar padamu agar tersiar tentang debar yang tak sebentar.

Ah, kerinduan itu selalu hidup dan berdegup.

/10/
Ran, kita akan mengenang persahabatan ini seperti wajah-wajah yang tersenyum rindu di keterjauhan perjalanan. Suatu ketika ia akan meneduhkan kenangan dari hujan kecemasan.

/11/
Ran, semoga suluh itu lekas berapi, menjadi seberkas cahaya yang tak dipadamkan usia. Senantiasa menerangi kehidupan dan menjadi Ibu bagi anak-anak cahaya.

/12/
Ran, biar kunyalakan lagi rembulan di langit malam agar cahaya remang menghilang dari sudut matamu.

/13/
Ran, akulah si bintang paling jauh, yang sinarnya paling lama jatuh menyentuh permukaanmu sehingga riak-riak kecil itu bergemuruh sebagai ombak yang rapuh.

/14/
Ran, biar aku saja yang menghitung jarak di sini. Kau harus tetap melaju bersama waktu yang pergi.

/15/
Ran, bukan di angkasa aku bertemu kehampaan, tapi di dalam kata-kata yang tak tersampaikan. Biarkan mereka mencapaimu. Barangkali setelah itu kau akan memahami kekosonganku.

/16/
Ran, kita menjadi dua sisi pada kenyataan lain. Tapi bukankah di sini kita jadi dua bait yang saling melengkapi dalam sebuah puisi?

/17/
Ran, aku hanya bisa menumbuhkan janji dalam rimba sunyi, jadi rimbun daun yang anggun, jadi pucuk-pucuk yang hijau memukau, jadi dahan yang tahan, jadi akar yang membesar, untuk menghidupkan kehidupan itu sendiri.

/18/
Ran, pada mulanya kau tak pernah paham arti kedalaman sebelum kau benar-benar tenggelam di telaga yang tenang. Ternyata yang dangkal itu pemahaman yang kurang.

/19/
Ran, akulah laut yang tiba-tiba surut. Gelombang yang pasang kadang-kadang. Tetapi airku tetap sama. Tak ada yang bisa menawarkan rasa asin pada sekujur tubuhku. Tak juga cahaya rembulan itu.

/20/
Ran, telah kucoret langit dengan sederet kata sengit. Tapi ia tak menyingkapkan wajah murung. Ia balas bersitatap dengan kerlap-kerlip gemintang dari jauh yang menyentuh.

Betapa luas penerimaan langit tak berbatas itu.

/21/
Ran, meskipun siang beringsut dari kotamu, cahaya tak pernah susut dari matamu. Sebab di sana nyala pengharapan mengekalkan rekah sinarnya.

Semoga tak ada yang padam dalam hari yang tenggelam.

/22/
Ran, ada isyarat yang berkarat. Suatu pertanda yang lama, yang sama. Bahwa aku ada, aku nyata. Bisa terluka jika kau berduka. Bisa berduka jika kau terluka.

(STAR 781. Hisar Evi, 05102013, 03.56)

Hanya Ada Kata-Kata, Seperti Biasa

Ran, tak ada yang berbeda. hanya ada kekosongan sementara yang menyuguhkan jeda antar kata, antara kita.

Ran, adakah kerinduan yang berguguran menjadi lembar harian berwarna hijau muda? seperti kenangan yang tak bisa menguning tua. sebab ingatan selalu memekarkan kebersamaan kita yang jauh, yang teduh.

Ran, apa kabar? kuharap kau lekas sembuh.

(STAR 748. Çubuk, 09062013, 15.24)

Perkenalkan (5)

aku menjadi rintik hujan kecil
yang tak ingin kembali ke pelukan awan
setelah bibir mungilnya bergetar ketika mengecup tepi daun itu.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain dan lain-lainnya.

(STAR 714. Bus 132, 30032013, 16.50)

Perkenalkan (4)

aku menjadi mendung yang bergelayutan memayungi
reranting layu dari sengatan matahari,
yang ingin segera menumpahkan rintik-rintik hujan
untuk memekarkan kelopak hijau di ujungnya.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain dan lainnya.

(STAR 713. Bus 132, 30032013, 16.43)

Perkenalkan (3)

aku menjadi gemerisik dedaunan
yang hanya mampu berbisik pada angin
sebelum jatuh tanpa bersuara ke pelukan tanah.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain-lainnya.

(STAR 712. METU, 30032013, 16.06)

Perkenalkan

aku menjadi kata yang tertunduk di hadapanmu,
di lututnya rindu bergemetaran
sebab terlalu lama ia menekuk di sudut bisu.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain.

(STAR 710. Bus 133, 30032013, 08.23)

Aside

Gerimis Kata: memaknai reda, jeda, dan kita

Ran, selalu ada yang tak pernah selesai dalam sebuah cerita.

Ran, kita tak pernah kehabisan kata untuk menuliskan fakta bahwa kita saling setia dalam memaknai persahabatan dengan duka yang mengendap di dinding masa, dengan rindu tak berkesudahan, dengan sebilah rasa yang mengupas tawa, dengan jeda berkepanjangan.

Ran, gerimis sore itu berjatuhan di lain kota, aku tergelincir dari tebing ingatan setelah menampung rintik-rintiknya; kata demi kata.

Ran, adakah yang lebih setia dari gerimis? yang tak kunjung reda dalam sebuah jeda yang sebenarnya tak menunggu siapa-siapa atau kehilangan apa-apa. barangkali kitalah gerimis itu; yang ingin menghapus rintik-rintik tubuhnya sebelum memulihkan dahaga ranggas ilalang di padang gersang. oh, bukankah kita suara yang tak pernah parau sepanjang kemarau itu?

Ran, selalu ada yang tak pernah usai dalam sebuah cerita. kita tak akan pernah bisa merumuskan bab akhir atau menyusun daftar isi kembali. kita hanyalah kata yang utuh di sebuah pertengahan kisah persahabatan. yang selalu terbaca sebagai kesatuan makna meskipun ada spasi yang menggali jarak antara kita, meskipun ada titik dan koma yang memberi jeda untuk berteduh dari rangkaian berkelanjutan pada kalimat yang tak jauh berbeda.

Ran, kita selalu terbaca sebagai kesatuan makna kata persahabatan yang sama, meskipun saling berjauhan kita masih tertulis di halaman yang sama.

(STAR 705. Yasir Evi, 20032013, 23.00)

Ada Kita dalam Ketiadaan Kata

Ran, ada duka yang hanya bisa terbaca
dari bibir cuaca;
rintik-rintik hujan itu….

Ran, ada surat yang kata-katanya tak ingin selesai
kurangkai
menjadi kalimat yang dengan matamu bertikai.

Ran, ada kata yang terdiam dalam keheningan kita;
jeda berkepanjangan itu…..

(STAR 703. Bus 423, 11032013, 08.17)

Secarik Surat yang Ingin Dirinya Dibalas dengan Secarik Surat tetapi Aku Membalasnya dengan Berbait-bait Sajak (1)

Ran,
malam sudah terlampau larut dalam
mata yang tak mau dipejam.

ingatan itu seperti memekatkan
tumpahan rasa yang tertampung dalam secangkir kenangan
ketika kau tiba-tiba terapung kembali ke permukaan,

tanganku hanya menyeduh perlahan-lahan
padahal bibirku dan bibir cangkir itu hanya berjarak satu kerinduan.

”aku tak ingin kau tumpah, tetaplah menyatu denganku meskipun sebagai ampas kata yang tersisa setelah maknanya diteguk habis berulang kali”

*

Ran,
kerinduanku
telah lama bermekaran
menjadi buah ranum yang disembunyikan daun
dari rayuan tanah
yang tak henti-hentinya mengajaknya jatuh
agar kerinduan itu bisa berakar kuat pada tubuhnya
untuk menumbuhkan buah yang lebih ranum lagi.

*

Ran, seperti yang pernah kukatakan; ”mengagumimu seperti menjadi pagi yang tak
pernah jengah menyaksikan kisah melankoli daun
yang melepas embun jatuh perlahan-lahan
berulang kali…….”

aku masih mengagumimu seperti itu saja,
sebagai sahabat sejati
yang bersahaja dalam menjaga kelopak persahabatan agar selalu terbuka
dan merekah indah sepanjang masa.

*

Ran, surat darimu tiba sebagai daun yang berguguran di halaman pagi,

yang membuatku tergesa-gesa keluar
sebelum jemari halus angin
yang dingin memungutinya,

yang kata demi katanya begitu menyejukkan.

(STAR 669. Yasir Evi, 24122012, 16.52)

Sajak untuk Ran

yang tak pernah selesai kubaca
adalah rangkaian isyarat rindumu
yang tiba-tiba menurunkan hujan dari langit senja;

seketika ingatanku meluapkan kenangan
yang seperti terkelupas dari semburat jingga.

yang tak pernah selesai kupertaruhkan
adalah sepotong luka lama
yang berulang kali disayat pisau kata;

matanya berkilat-kilat
sebab terlampau tajam dalam memaknai cerita duka
yang entah batas deritanya.

yang tak pernah selesai kusapa
adalah kerdip matamu
yang menggugurkan kerlip gemintang ke sebuah telaga
ketika membaca sajak ini;

begitu benderang tiap ujung bait katanya
yang memancarkan kerinduan pada sebuah nama.

(STAR 663. Bus 132, 06122012, 21.46)

Kehangatan Sajak

Ran, pada pagi yang mulai beranjak pergi ke pucuk hari, kutitip kemilau rindu pada matahari. akankah ia berbagi kehangatan cahayanya yang memikat itu dengan sapaku. biar pagi beserta siang di kotamu tidak meredupkan nyala persahabatan kita.

Ran, berbait kata tak akan bisa mengisi rongga-rongga sajak yang menyimpan kerinduanku, jika makna kesetiaan hanya dipendam dalam tanpa diterapungkan pada permukaan nyata.

(STAR 628, Pursaklar, 07102012, 12.49)