/1/
Ran, gemuruh ombak tak berhenti menabuhkan kerinduan ke tempat-tempat persinggahan. Sebab selalu saja ada yang menunggu dalam kepastian kata.
/2/
Ran, pada kenangan lama juga kita berlabuh setelah ombak tak berkepastian itu bergemuruh ke segala arah.
Sebelum badai kecemasan kembali terhempas dan menjauhkan kita dari kata, biarkan kekuatannya mempersatukan kita dalam persahabatan nyata.
/3/
Ran, aku selalu dekat meskipun terlihat melesat sejauh-jauh angin.
Mana mungkin aku bisa melupakan. Sebab pada jarak kerinduan senantiasa terpasung.
/4/
Ran, senja selalu membuatku ingin membayangkan laut yang cemburu pada kemilau jingga. Barangkali ombak itu bergemuruh karenanya.
/5/
Ran, barangkali aku sebilah galah yang kalah sebab tak bisa menyabit pucuk-pucuk kesalahan yang menghijau sepanjang kemarau hati.
Maafkan.
/6/
Ran, berbait-bait kata telah berlayar ke sunyimu. Mungkin mereka ingin mendengar suara mimpimu.
Detak pergantian usia terdengar merdu. Pagi terbangun dengan kemilau cahaya baru.
/7/
Ran, pernah kita bersua di tepi masa, di bawah langit senja. Aku tak berkata apa-apa. Tetapi kau lekas membaca hikayat diamku. Lalu kita berkenalan dan terus mencatat pertemuan itu sebagai awal persahabatan.
Hari ini aku juga ingin membaca hikayat sunyimu.
/8/
Ran, gemericik ombak mengajak kata bersajak tentang persinggahan yang memikat.
Tetapi aku ingin singgah di sini saja.
/9/
Ran, ingin kusampaikan kabar padamu agar tersiar tentang debar yang tak sebentar.
Ah, kerinduan itu selalu hidup dan berdegup.
/10/
Ran, kita akan mengenang persahabatan ini seperti wajah-wajah yang tersenyum rindu di keterjauhan perjalanan. Suatu ketika ia akan meneduhkan kenangan dari hujan kecemasan.
/11/
Ran, semoga suluh itu lekas berapi, menjadi seberkas cahaya yang tak dipadamkan usia. Senantiasa menerangi kehidupan dan menjadi Ibu bagi anak-anak cahaya.
/12/
Ran, biar kunyalakan lagi rembulan di langit malam agar cahaya remang menghilang dari sudut matamu.
/13/
Ran, akulah si bintang paling jauh, yang sinarnya paling lama jatuh menyentuh permukaanmu sehingga riak-riak kecil itu bergemuruh sebagai ombak yang rapuh.
/14/
Ran, biar aku saja yang menghitung jarak di sini. Kau harus tetap melaju bersama waktu yang pergi.
/15/
Ran, bukan di angkasa aku bertemu kehampaan, tapi di dalam kata-kata yang tak tersampaikan. Biarkan mereka mencapaimu. Barangkali setelah itu kau akan memahami kekosonganku.
/16/
Ran, kita menjadi dua sisi pada kenyataan lain. Tapi bukankah di sini kita jadi dua bait yang saling melengkapi dalam sebuah puisi?
/17/
Ran, aku hanya bisa menumbuhkan janji dalam rimba sunyi, jadi rimbun daun yang anggun, jadi pucuk-pucuk yang hijau memukau, jadi dahan yang tahan, jadi akar yang membesar, untuk menghidupkan kehidupan itu sendiri.
/18/
Ran, pada mulanya kau tak pernah paham arti kedalaman sebelum kau benar-benar tenggelam di telaga yang tenang. Ternyata yang dangkal itu pemahaman yang kurang.
/19/
Ran, akulah laut yang tiba-tiba surut. Gelombang yang pasang kadang-kadang. Tetapi airku tetap sama. Tak ada yang bisa menawarkan rasa asin pada sekujur tubuhku. Tak juga cahaya rembulan itu.
/20/
Ran, telah kucoret langit dengan sederet kata sengit. Tapi ia tak menyingkapkan wajah murung. Ia balas bersitatap dengan kerlap-kerlip gemintang dari jauh yang menyentuh.
Betapa luas penerimaan langit tak berbatas itu.
/21/
Ran, meskipun siang beringsut dari kotamu, cahaya tak pernah susut dari matamu. Sebab di sana nyala pengharapan mengekalkan rekah sinarnya.
Semoga tak ada yang padam dalam hari yang tenggelam.
/22/
Ran, ada isyarat yang berkarat. Suatu pertanda yang lama, yang sama. Bahwa aku ada, aku nyata. Bisa terluka jika kau berduka. Bisa berduka jika kau terluka.
(STAR 781. Hisar Evi, 05102013, 03.56)