Mari Mengenang yang Hilang Tanpa Berlinang Air Mata, Kita Tidak Mau Kenangan Itu Basah Atau Dihanyutkan Jauh Ke Dalam Hulu Perasaan

🙂

Hei, apa kabar? Ini malam yang menyenangkan, bukan? Wajah langit dicerahkan rembulan. Seperti wajahmu yang tersenyum; menyabit rinduku.

Sudah lama aku tidak membiarkan kata-kata menuliskan kerinduanmu padaku. Kau tahu, aku pemalu. Tidak berani berkata-kata pada kerling matamu. Tidak berani bersuara pada heningmu. Tapi aku juga rindu.

Apa kabarmu? Lagi-lagi aku bertanya pada semesta. Yang menyimpan rahasia perasaanmu. Semoga kamu baik-baik saja. Di mana saja. Bersama dia. Dan aku akan menjaga kebaikan hatimu. Oh iya, jangan terluka karena cinta, ya!

Cinta? Hahaha. Lagi-lagi aku menuliskan kata yang serupa. Tidak sengaja. Seperti hari itu; ketika kata-kata keluar dan berlarian ke depanmu. Ingin memeluk kesendirianmu. Ingin berbisik sesuatu yang sudah kau tahu. Seseorang mencintaimu sejak dulu.

Ah. Lupakan saja itu. Kita masih kekanak-kanakan waktu itu. Sekarang cintamu sudah berbeda, telah dewasa bersamanya.

Lihatlah! Bintang-bintang yang bersinar terang. Binar kedua matamu. Dari kejauhan menerangi malamku………..

🙂

Lagi-Lagi; Rindu!

Sebuah ruangan yang dihuni sepi. Seperti tak berjendela. Tak ada kursi atau meja. Dan sepotong rindu tergeletak di lantai. Seperti terperangkap sendiri.

Kerlap-kerlip lampu di kejauhan tak bisa menembus tirai jendela. Hanya terlihat garis-garis bercahaya di celahnya. Seperti sebuah lukisan yang entah maknanya.

Rindu itu aku yang punya!
Memang kubiarkan ia tergeletak sendirian. Biar lantai yang dingin bisa membuatnya menginginkan kehangatan.

Aku rindu pada semua yang pernah aku rindukan sebelumnya. Aku rindu pada segala yang ingin kurindukan seutuhnya. Aku juga rindu pada beberapa hal yang tak ingin kurindukan sebelum dan setelahnya.

(Fragmen 1. Çubuk, 08062013, 23.58)