Bintang Seulanga (1)

Prolog

Perlahan-lahan warna jingga di langit senja itu seperti terkelupas. Mungkin karena aku menatapnya terlalu lama. Entahlah, sejak beberapa tahun lalu penglihatanku menjadi tajam ketika senja tiba. Seolah-olah aku bisa menyentuh batas terjauh cakrawala. Barangkali aku masih mencari serpihan kenangan yang telah lama tenggelam di sana, telah tenggelam ke dasar langit malam.

Segerombolan burung gereja bertengger di dahan pohon jambu yang tumbuh tepat di hadapan bangku taman ini -tempat kesukaanku menghabiskan sisa sore bersama putri kecilku. Aku membiarkannya bermain sesuka hati bersama beberapa anak seusianya. Mereka seperti burung-burung gereja itu. Berloncatan kian kemari sebelum kembali pulang ke sarangnya. Alangkah cerianya mereka. Seolah-olah dunia ini diciptakan sebagai wahana permainan saja.

Matahari hampir tenggelam sepenuhnya di ufuk sana. Cahaya keemasannya akan segera melumuri menara mesjid yang  menyuarakan adzan maghrib ke seluruh penjuru kota.

‘’Sore ini akan berlalu seperti biasa’’, gumamku.

Perlahan aku bangkit dari bangku taman itu. Aku tersenyum melihat ke tengah taman. Si buah hati sedang bermain pasir bersama seorang bocah lelaki. Mereka hanya ditinggal berdua. Mungkin anak-anak yang lain telah diajak pulang oleh orang tua mereka.

’’Hmm, sebentar lagi maghrib, sebaiknya kita pulang’’, gumamku sendiri lagi.

‘’SeuLangaaaaaa’’, aku berteriak memanggil si buah hati sambil melambai-lambai tangan ke arahnya.

Tetapi aku tersentak. Tiba-tiba bersamaan dengan suaraku, aku mendengar sayup-sayup suara lain di kejauhan yang memanggil sebuah nama. Sebuah nama yang tak asing bagiku.

Aku memalingkan wajah ke arah suara itu. Seorang perempuan berkerudung biru sedang berjalan dan menatap ke arahku. Dalam beberapa detik mata kami sempat bertemu. Aku seperti terhanyut di telaga matanya. Tatapannya semakin dalam saja. Denyut jantungku semakin terpacu tak karuan. Aku semakin yakin kalau pernah mengalami hal serupa ini bertahun-tahun lalu. Aku tak kuasa bergerak. Hanya mematung dan membiarkan diri tenggelam di kedalaman matanya.

Tiba-tiba, si buah hati, SeuLanga, sudah berada di sampingku. Aku kembali sadar kalau aku sedang berpijak di bumi setelah ia menggoncangkan tubuhku berulang kali.  ‘’Ayah… Ayaah… ayo kita pulaang’’, ujarnya dengan manja.

‘’Oh SeuLanga sayang, hmm, kita pulang sebentar lagi yaaa’’, sahutku sambil menatapnya sekilas dan membersihkan bajunya dari butir-butir pasir.

Sejurus kemudian mataku kembali menatap ke arah perempuan itu. Ia juga sedang melihat ke arah kami sambil tersenyum. Oh, lagi-lagi, senyum itu. Senyum yang tak asing lagi bagiku. Ribuan tanda tanya menggerubungi otakku. Persis seperti laron yang menggerubungi bola lampu.

‘’Ayah, itu Bintang. Teman baru SeuLanga’’, celotehnya sambil menunjuk ke arah bocah lelaki yang sedang memegang tangan perempuan itu.

‘’Ohh, Bintang???’’, sahutku perlahan dengan suara bergetar.

‘’Iya, tadi kami membangun istana pasir yang besaar sekali. Ayo kita ke sana bentar Yah, SeuLanga mau kenalin ayah ke Bintang’’, ajaknya dengan manja.

Aku mengangguk perlahan dan mendekat ke arah perempuan itu bersamanya. Jantungku masih berdegup cepat. Aku seperti merasakan debur ombak yang meriakkan kerinduan dari lautan senja. Semakin dekat ke arahnya, berbagai serpihan kenangan bermunculan ke permukaan. Aku bertambah yakin kalau perempuan itu adalah jelmaan rinduku yang mengalun dan menjadi buih setelah penantian panjang.

Tiba-tiba aku telah berada tepat di hadapannya. Langkahku menjadi kaku. Aku berjuang keras untuk bersikap seperti biasa. Meskipun ribuan tanda tanya itu membuat suaraku bergetar hebat.

‘’Assalamu’alaikum”, sapaku.

‘’Wa’alaikumsalam’’, jawabnya sambil tersenyum.

Dadaku berdebar ketika mendengar suaranya. ‘’Tidak salah lagi, ini pasti dia’’, teriak sebuah suara dari kedalaman hatiku.

Aku masih setengah tak percaya. Cepat-cepat aku palingkan mataku. Sebab aku takut tenggelam lagi di telaga matanya. Aku melirik ke arah bocah lelaki di pangkuannya.

‘’Oh, ini teman barunya SeuLanga ya, Bintang kan? Nama yang bagus….’’, aku berusaha memecah kesunyiaan.

‘’Iya, kelihatannya anak kita sudah berteman akrab, semoga saja bisa menjadi sahabat sejati’’, sahut perempuan itu, ‘’seperti ibu dan ayahnya’’.

Aku terperanjat. Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya itu menyeret ingatanku kembali ke belasan tahun silam………….

*****bersambung…..