Puisi-Puisi Tsunami di Buletin IKAMAT (BULEKAT) Cetakan Kedua:
Suatu Pagi Ketika Maut Melambai dan Laut Menggapai Daratan
Pagi tak terbuai
ketika maut menyeringai pada kita yang lalai
Akhirnya pagi itu
ombak mampu menggapai tepian pantai
setelah pergi meninggi di tengah laut
yang ikut berkemelut
Mayat-mayat berserakan
begitu cepat
Ayat-ayat diucapkan
terlambat
Kesedihan remuk tak berbentuk
Kucuran air mata tak bisa mengutuk
sebab pagi itu kita lalai tak bisa menerka
pada laut-Nya yang murka
dan
pada ombak yang tak lagi membelai tepian.
(Ankara, Desember 2013)
Ditelan Laut
Kita menyambut kematian
dari amuk laut yang menipu
dengan surut tiba-tiba
kemudian tak ragu-ragu ia
menghanyutkan
dan menyapu daratan
(alkisah, tanah adalah kawannya laut
yang zaman dulu sempat berpaut
sebelum berpisah lama),
akhirnya mereka pun dipertemukan-Nya
kembali secara tragis
Pagi itu tanah seperti gadis yang pasrah
dijamah air bah yang mengikis habis
tak peduli pada jerit tangis
yang pecah
dan membuncah
sebelum ratusan ribu nama karam;
selama-lamanya tenggelam
Tersingkaplah duka paling senyap
yang menetap
pada gundukan tanah merah yang telah jadi satu-satunya atap
bagi ratusan tubuh yang tak lagi meratap.
(Ankara, Desember 2013)
Aroma Kematian
meskipun
dari tahun ke tahun
aroma musibah menyengat
kita harus tabah mengingat
agar kita sadar sangat
kiamat itu (kecil atau besar) benar-benar dekat
(Ankara, Desember 2013)
Tsunami Dua-Enam Desember Dua Ribu Empat
sembilan tahun berlalu
serpihan duka itu telah menumbuhkan perdamain baru
(Ankara, Desember 2013)