Bunga-bunga bermekaran dalam beranda sebuah taman, harum semerbak, menawan kumbang-kumbang.
Bunga bermahkota indah telah meracuni kumbang-kumbang yang berhasrat mencicipi madu cintanya. Mereka kian mabuk, tergila-gila dengan mahkota indahnya. Mereka memuja-mujanya, berlomba-lomba untuk memilikinya. Mereka berebut untuk menjaganya, makin mendekatinya, tetapi mereka malah menghancurkan kesuciannya.
Bunga bermahkota indah tak berdaya. Taman itu telah berubah menjadi taman racun. Tempat pertikaian dikarenakan keindahan mahkotanya.
Bunga bermahkota indah dirundung kesepian. Kumbang-kumbang meninggalkannya ketika malam menyelimuti kegelapan. Mereka hanya mendekatinya ketika mahkota indah miliknya memancarkan warna bercahaya.
Bunga bermahkota indah diliputi kesedihan. Ia menangis dalam diam, di dalam kesunyian malam. Ia tahu, sebentar lagi ia akan layu. Dan kumbang-kumbang akan berhenti memujanya. Mereka akan mencari mahkota bunga lain.
Tiba-tiba sesuatu menyentuh bunga bermahkota indah. Sesuatu yang menyembuhkan duka laranya. Sesuatu yang menyeka air matanya. Sesuatu yang menerangi asa-asanya. Sesuatu yang selalu menemaninya selama ini tanpa ia sadari.
Sesuatu itu adalah sinar Bintang yang selalu menyentuhnya dari kejauhan. Bintang yang tidak selalu terlihat, tetapi selalu ada untuknya. Bintang yang tidak terpikat dengan mahkota indahnya. Bintang yang selalu setia menemaninya walaupun ia tidak akan pernah memilikinya.
Tahukah kamu, itulah alasan mengapa aku hanya ingin menjadi sebuah bintang. Ya Rabb, jadikan saya sebagai sebuah “bintang” yang bercahaya dengan cahaya iman dan taqwa…
(SeuLanga 18. Yağmur Evi, 31012011, 13.06)