Bintang-Bintang Kertas

Diam-diam aku mengintip ke dalam kamar itu. Ternyata Abang tidak tidur. Ia sedang duduk di atas ranjang dan mengunting kertas. Aku semakin penasaran. Kusibak kain gorden penutup pintu kamarnya lebih lebar. Dia masih diam. Kertas beraneka warna berserakan di sampingnya. Ada kotak berwarna biru persis di depannya. Aku terus memperhatikan gerak tangannya yang melipat-lipat guntingan kertas.

”Apa yang sedang dibuatnya?”, batinku terus bertanya-tanya. Aku memberanikan diri melangkah ke arahnya. Ia menyadari kehadiranku dan tersenyum seperti biasanya. ”Oh Nelly lagoe, ayo duduk di sini”, ujarnya sambil mengelus rambutku.

”Apa itu Bang?”, tanyaku.

”Ini bintang, Nelly pasti suka bintang juga kan?”

”Iyaaaa, banyak warnanya, waaaah banyak kali bintangnya abang”, seruku ketika melihat isi kotak biru itu.

”Hehehe, bintang-bintang ini untuk orang yang suka bintang, karena Nelly juga suka, Abang kasih untuk Nelly juga, mau kan?”

Aku langsung mengangguk dan tertawa girang. Ternyata kotak biru itu hampir penuh. Isinya hanya bintang-bintang kertas yang berwarna-warni. Aku mengambil satu bintang berwarna biru muda. Ukurannya lebih besar daripada yang lain. Aku melirik ke arah Abang yang masih tekun melipat-lipat kertas. Ia menyulapnya menjadi bintang-bintang kecil dan besar. Aku semakin kagum padanya.

Ia tersenyum dan meletakkan sebuah bintang berwarna pink di telapak tanganku.

”Nelly suka warna pink kan?”

”Iyaa, waaah bintang warna pink !!”, aku bersorak riang sambil berlari ke luar kamar. Aku sangat gembira dan mencari Aci di teras depan. Kemudian aku memperlihatkan bintang itu padanya dengan bangga, seolah-olah aku yang membuatnya. Ia juga takjub melihat bintang di genggamanku.

”Adek, dapat dari mana bintangnya?”, tanyanya

”Dari Bang Ban, ia lagi membikin banyaaaaaaak bintang di kamar”, sahutku sambil merentangkan kedua tangan selebar-lebarnya.

Ia langsung berlari ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia kembali ke teras sambil memegang bintang kertas berwarna biru. Ia tertawa riang dan mengajakku bermain bintang di atas balai bambu. Kami mencoret-coret bintang kertas dengan pulpen. Lalu Abang menghampiri kami dan membagi-bagikan belasan bintang aneka warna. Kami berlonjak riang dan ia tertawa melihat tingkah kami.

***

Aku kembali menyibak kain gorden penutup pintu kamar itu. Dadaku bergemuruh kencang. Aku selalu berharap ia masih duduk di sana sambil tersenyum ke arahku. Entah kenapa, setiap masuk ke dalam kamar Abang, rinduku seperti bergelombang riuh dan mendebar-debarkan hati. Puluhan bintang kertas aneka warna masih terbayang-bayang dalam ingatanku. Seolah-olah ia sedang duduk di atas ranjang dan membuat ratusan bintang berwarna pink, hanya untukku.

Kotak berwarna biru juga telah raib. Aku telah mencarinya di seluruh penjuru kamar dengan Aci. Mungkin sudah dibawanya terbang.

Aku masih belum bisa meyakinkan hati kalau ia telah terbang jauh. Meskipun Mamak berulang kali menjawab pertanyaan yang sama dariku. ”Abang sedang belajar di negeri jauh”.

”Kapan pulang?”, tanyaku lagi.

”Insya Allah tidak lama lagi pasti pulang”

”Lamaa kali, kenapa gak pulang bersama Bang Di?”

”Bang Ban tinggal di Turki, lebih jauh dari tempat kuliah Bang Di, jadi tidak bisa pulang”, ujar Mamak sambil tersenyum.

Aku hanya diam. Masih belum mengerti tentang jarak perjalanan. Aku selalu merasakan kedekatan dengannya. ”Abang tidak jauh, sangat sangat dekat”, batinku. ”Ia ada di kamar sedang membuat bintang-bintang kertas”.

***

Aku berada di samping Mamak yang sedang berbicara dengan Abang melalui HP. Aku hanya diam dan menyimak pembicaraan mereka. Wajahku memerah karena tersipu malu. Mamak menceritakan pertanyaanku yang berulang kali tentang kepulangannya. Ia tertawa sambil menyuruhku bicara dengan Abang. Tetapi aku masih malu dan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Entah kenapa aku tidak bisa berani bertanya langsung kepada Abang melalui HP. Mamak masih membujukku untuk bicara sambil menyodorkan HP ke arahku. Sayup-sayup aku mendengar suara Abang yang memanggil-manggil namaku. Aku terus diam dan menggelengkan kepala tanda tidak mau. Akhirnya ia menyerah juga. Katanya di HP,”adek masih malu-malu, meskipun ia sudah besar sekarang, sudah menjadi anak gadis”. Aku semakin tersipu setelah mendengar suara tawa Abang.

”Adek Nelly selalu menyuruh Mamak dan Bapak membuat bintang-bintang kertas. Katanya harus seperti bintang Bang Ban. Kan kami tidak bisa membuatnya, harus tunggu Bang Ban pulang dulu”, cerita Mamak pada Abang sambil tersenyum melihat ke arahku. Aku langsung berlari ke dalam rumah. Kuraih tas sekolah berwarna pink di atas rak buku. Lalu aku membukanya. Kuambil semua bintang kertas Bang Ban dengan hati-hati. Masih berjumlah sama. Tiga bintang biru, dua bintang hijau, tiga bintang merah, satu bintang kuning, dan lima bintang pink. Aku tersenyum karena mereka sedang bercahaya di mataku. Sangat benderang. Menerangi kerinduan padanya. Aku selalu memperlihatkannya dengan bangga pada teman-teman di sekolah. Mereka iri melihat aneka warna bintang yang menurut mereka sangat cantik.

Lalu aku menyimpan kembali bintang-bintang kertas itu ke dalam tas kesayanganku. Aku menjaga mereka dengan baik sampai-sampai aku melarang teman-teman menyentuhnya. Entah kenapa, mereka sangat berharga bagiku. Aku akan terus menyimpannya sampai Abang pulang. Aku akan menyuruhnya membuat ratusan bintang berwarna pink sebanyak bintang-bintangnya di dalam kotak biru itu.

(Biru 3. Yıldırım Evi, 31122011, 01.47)

Princess Nelly

Dua tahun lima bulan tak bersua. Juga tak bertutur sapa. Jarak memang tak pernah lelah memisahkan raga kami. Tetapi jiwaku masih menumbuhkan namanya di suatu ladang berisi cinta. Ya, saya sangat mencintainya.

Ia adalah Putri Malu. Tidak berani bicara dengan abangnya di telepon. Bersembunyi dan dengan langkah-langkah malunya menyambut abangnya yang baru pulang untuk liburan, enam bulan sekali.

Ia adalah Putri Bungsu. Satu-satunya tuan putri di keluarga. Yang dilindungi oleh empat pengawal setianya: abang-abang tercinta. Yang dikasihi “Raja” dan “Ratu”.

Ia adalah Putri Nelly. Adik tercinta kami. Senantiasa menyalakan ceria di rumah sederhana kami. Tidak pernah lupa berceloteh manja.

Saya merindukannya. Ia bersama abang setianya, Aci, mengisi kekosongan yang kami tinggalkan untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta. Ia adalah putri yang hebat. Setia melipur lara Ibunda yang “kehilangan” dua putranya di tanah rantau.

Tuan Putri kami semakin beranjak dewasa. Saya rindu masa itu, ketika ia masih berjalan tertatih-tatih. Saya ingin mengendongnya kembali, membawanya jalan-jalan ke pinggiran sawah, ke Balee Lupee, ke Keudee (kedai) Mak Pa membeli kue yang ia suka……

Wahai Tuan Putri, tumbuhlah sebagai bunga yang mengharumi agama, keluarga, dan bangsa. Kami selalu menjaga dan mendo’akanmu.

(CaRing 2. Bus 417. 30122011, 19.51)

Mencoba Berani

Sore hari semakin dingin. Sebentar lagi angka di temperatur dapat turun ke bawah 0. Saya baru saja melangkahkan kaki ke luar. Dingin yang sangat luar biasa setia menawarkan gigil langsung menyambut kemunculanku. Cuaca seperti ini membuatku betah “berhibernasi” di rumah. Apalagi hari ini jadwal kuliah kosong. Tetapi saya “nekat” ke luar dari kehangatan menuju kedinginan demi ujian Midterm.

Ya, saya sedang dalam perjalanan ke kampus. Sekitar 1 jam waktu ditempuh oleh bus. Lumayan lama, apalagi bus yang mengangkutku (seperti buah kelapa aja ni, diangkut-angkut -_-) tidak dinyalakan AC (eh salah, maksudnya pemanas). Bisa dibayangkan kedinginan yang melanda seperti gelombang yang meriakkan rindu di pantai (gak nyambung, efek sering puitis :p).

Anyway, catatan yang saya paksa ringan ini tidak berkisah tentang cuaca dingin. Tidak boleh melenceng dari judul di atas. Makanya, ini catatan tentang KE-BE-RA-NI-AN !!! Pasti para pembaca (kalau ada yang membaca, kalau tidak saya baca sendiri berulang-ulang :p) bertanya-tanya di dalam hati (kan gak mungkin bertanya ke tetangga), “keberanian seperti apakah ini?”.

Baiklah, saya akan menjawab. Tidak ada pilihan lain karena Anda memaksa saya (PeDeTingkatTinggi mode: ON).

Hmmm, hmmmm, hmmmm (sorry kebanyakan “hmmm”-nya :p, lagi berpikir),

Saya mencoba berani ikut ujian Midterm 2 Introduction to Genetic, sore ini jam 17.40. Kenapa harus berani? Kan mengikuti ujian adalah hal yang biasa bagi para mahasiswa. Tetapi saat ini adalah “luar biasa” bagi saya. Karena saya belum siap secara materi, tetapi mencoba berani untuk siap menghadapinya.

Saya sempat takut. Memilih untuk menyerah. Saya tidak mempunyai lecture notes sebab tidak pernah masuk kelas. Eitss, jangan mengambil kesimpulan kalau saya malas (meskipun kenyataannya iya). Bentrokan alias tabrakan dengan course lain lah yang menghalangi penampakan saya di kelas (ihhh, seperti maop alias hantu di Gentayangan). Jadi, saya tidak dapat memahami materi-materi yang akan diujiankan. Meskipun ada slides power point presentation dari Ibu Dosen, keadaan tak akan berubah signifikan. Karena jumlah slides-nya hampir 200 !!!. Tak akan bisa dikuasai dalam tempo yang sangat singkat.

Alhamdulillah, saya berhasil melawan ketakutan itu. Berani menghadapi ujian apa adanya. Tidak mau menyerah sebelum bertandang, ehh maksudnya bertanding (ujian yang susah memang seperti kompetisi supaya nilainya tidak meluncur jauh dari rata-rata). Saya yakin penyesalan akan datang (walaupun tak diundang) kalau saya menyerah karena alasan takut tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan “super” susah Ibu Dosen.

“Coba saja Bal, ayo mencoba memberanikan diri, kan Allah bersama kita, All iz well…”, bisik hati saya setelah lama merenung di kamar. Alhamdulillah, bisikan itu menuntunku keluar, untuk memeluk dingin, eits salah lagi…., yang benarnya: untuk mencoba berani !

(CaRing 1. Bus 427, 29122011, 20.33)

Kehangatan yang Akan Terbakar

Dingin tak berani menyapa sepasang kekasih
yang terlelap di peraduan cinta fana
Sebab ada hangat
yang dinyalakan syaithan dari api nafsu birahi
Hingga panas neraka akan membakar tubuh hangatnya.

(STAR 449. METU, 29122011, 19.39)

Teman Perjalanan

membaca lembar perlembar buku persahabatan
yang kau tulis di seluas halaman
dalam hamparan padang imaji berbatas impian
dan juga harapan-harapan memuncak, meninggi tak tergapai tangan.

***

tak usah menunggu tangan tumbuh panjang
biarkan juga asa menggunung
sebab suatu hari kita akan mendakinya bersama
sambil berbagi rahasia perjalanan.

***

semua telah ditulis
sebelum kita baca
tentang teman perjalanan ke puncak sana
yang akan membangun sebuah istana kesetiaan
hanya untukmu.

***

aku akan tetap membaca lembar perlembar buku persahabatan
sambil meluaskan halaman.

(STAR 440. Yıldırım Evi, 28122011, 17.27)

Kisah yang Membekukan Gelisah

Kenapa gelisahmu masih basah
padahal kemarin hujan tak menyapa
Hanya ada salju membekukan kisah:

di atap-atap rumah yang menampung segala curahan
tak dibiarkannya gigil tumpah ke dalam kehangatan keluarga,

di pucuk cemara yang rindu pada deru suara
masih kokoh menjadi rumah bagi angin yang mendesau dari segala arah,

di reranting pohon çınar yang memberi teduh
kepada burung-burung di sarangnya,

di halaman rumah yang senyap
dalam sepi menanti kicauan riang anak-anak yang bermain tanpa dipaksa,

di pelataran beranda yang mengepulkan aroma cinta
dari secangkir teh hangat yang diseduh Ibunda.

(STAR 438. Yıldırım Evi, 28122011, 10.10)

Suguhan Rindu dari Rintik-Rintik Hujan

Hujan sore ini
tidak seperti biasanya
meskipun memberi basah pada tanah
ia juga menyuguhkan rindu pada kamu.

(STAR 437. Yıldırım Evi, 27122011, 19.38)

Tak Menyentuh Selama Tumbuh

aku tak tumbuh di sana,
tak serumpun dengan bunga
pun tak pernah hinggap di kelopak mayangnya
apalagi menyentuh mahkota
yang dibiarkannya terbuka
tuk dijamah mata
atau untuk menampung debu-sebu cinta
atau pun tuk disirami racun dunia
yang melenyapkan kenikmatan abadi karena ia bermekaran dengan hina.

***

aku tumbuh di sini:
di ladang jiwamu,
hanya memekarkan makna
berupa kesetiaan yang semerbak
wangi, yang tak menyentuh mahkota bungamu
hanya menebarkan aroma.

(STAR 436. Bus 413, 26122011, 18.39)

Bunga Teratai yang Mekar

melirikmu di beranda maya
yang mekar dalam kata-kata
bersama mereka.

***

membacamu di dindingnya
yang penuh coretan tawa
dengan binar ceria.

***

menatapmu aku tak mampu
hanya akan membuatmu layu di mataku
karena kamu adalah satu-satunya bunga teratai di telaga hatiku.

(STAR 439. Yıldırım Evi, 28122011, 10.38)

Sajak Tentang Rumah Kita

: Ran Jr

Di rumah itu kita berteduh
dari amukan rasa yang gaduh
dan mengaduh
Hingga aliran cita di pikiran tidak keruh.

***

Kata-kata menjulang tinggi
kokoh direkat makna
yang memberi arti persahabatan,
Menyusun sebuah rumah sederhana
yang memiliki ruang kesetiaan
Di tengah rimba maya.

(STAR 433. Bus 198, 24122011, 12.39)