*my first Cerita Mini, selamat membaca :)*
Warna senja telah luntur di kaki langit. Beberapa rombongan “kuek aluek-aluek” sedang melintas di cakrawala yang mulai dicumbui temaram. “Hmm,Mereka sedang kembali ke sarang”, gumamku.
Aku melihat putri kecil kami masih bermain dengan beberapa anak seusianya. Mereka sedang asyik membangun “istana” pasir. Dia kelihatan gembira seolah-olah dunia ini hanya diciptakan untuk taman bermain untuknya.
Sejenak aku menghela nafas panjang sambil menatap senja yang telah pudar. Sore ini aku mengajak si buah hati kami ke taman ini. Sayangnya istri tercinta tidak bisa menemani kami karena ia harus memasak bersama ibu di rumah. Aku tersenyum membayangkan dua jagoan masakku sedang unjuk gigi dalam menyajikan makanan terenak di dunia. Ahh, perutku semakin lapar.
Taman ini mulai sepi. Beberapa anak telah diajak pulang oleh orang tua mereka masing-masing. Aku melihat tangan putri kecil kami masih menyentuh gundukan pasir. Ia ditemani seorang bocah laki-laki. Kelihatannya mereka ditinggal berdua oleh teman-temannya. “Hmm, sebentar lagi Maghrib, sebaiknya kita pulang”, gumamku sendiri.
“Liaaaa”, aku berteriak memanggil buah hati kami. Tetapi aku kaget, bersamaan dengan teriakanku, aku mendengar sebuah suara yang memanggil namaku. Suara yang terasa tidak asing bagiku.
Spontan aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Dalam beberapa detik, mata kami bertemu. Aku seperti hanyut di dalam telaga matanya. Semakin dalam tatapannya. Tiba-tiba, putri kecil kami, Lia, sudah berada di sampingku. Aku kembali sadar kalau aku sedang berpijak di bumi ketika Lia menggoncangkan tubuhku berulang kali.
“Ayah, ayaaaah…, ayo kita pulang”, ujarnya dengan manja.
“Oh Lia sayang, hmm, ya kita pulang sebentar lagi”, sahutku sambil menatapnya dan membersihkan bajunya dari kotoran butir-butir pasir.
Sejurus kemudian mataku kembali menatap ke arah perempuan itu. Ia juga sedang menatap ke arah kami dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Oh, lagi-lagi, senyuman itu terasa tidak asing bagiku. Ribuan tanda tanya sedang mengerubungi otakku.
“Ayah, itu Akbar. Teman baru Lia”, celoteh putri kecil kami sambil menunjuk ke arah bocah laki-laki yang sedang memegang tangan perempuan itu.
“Ohh, Akbar???”, sahutku pelan.
“Iya, tadi kami membangun istana pasir yang besaaaaaar sekali”, jawabnya dengan wajah cerah, “ayoo kita ke sana dulu sebentar Yah, Lia mau kenalin Ayah ke Akbar”.
Kami mendekat ke arahnya. Jantungku berdegup tidak karuan. Aku kembali merasakan debar-debar ombak kerinduan yang dahulunya pernah kurasakan dan tertulis di bait-bait sajakku. Sebuah rindu yang mengalun dan menjadi buih setelah penantian panjang.
Tiba-tiba aku telah berada tepat di hadapan mereka. Langkahku kaku. Aku berusah keras untuk bersikap seperti biasa, tetapi ribuan tanda tanya itu membuat suaraku bergetar.
“Assalamu’alaikum”, sapaku.
“Wa’alaikumsalam”, sahutnya sambil tersenyum.
Oh, jantungku berdegup semakin kencang ketika mendengar suaranya. “Tidak salah lagi, ini pasti dia”, teriak sebuah suara di kedalaman hatiku.
Aku masih setengah tidak percaya. Aku takut tenggelam lagi di telaga matanya. Cepat-cepat aku palingkan pandangku. Aku menatap bocah laki-laki di pangkuannya.
“Oh ini teman barunya Lia, Akbar-kan? Nama yang bagus”, aku berusaha memecah kesunyian.
“Ya, kelihatannya anak kita sudah berteman akrab, semoga saja bisa menjadi sahabat sejati”, jawab perempuan itu, “seperti ibu dan ayahnya”.
Aku terperanjat. Kalimat terakhir yang diucapkannya menusuk hati dan menyeret ingatanku kembali ke belasan tahun silam. Aku semakin yakin kalau perempuan itu adalah dia. Ya, tidak salah lagi.
Aku kembali menatap kedua matanya. Telaga telah mengkristalkan butir-butir air mata. Tergenang sebuah kenangan di sana. Ia mencoba membendung sungai yang telah siap mengaliri ke dua pipinya. Ohh, aku tidak sanggup menatapnya lagi. Semakin lama aku akan semakin hanyut dalam sebuah penyesalan. Apakah mata kami masih bisa bicara?
Sebelum aku menemukan jawaban, ia mengalihkan pandang ke Lia. “Putri kecilmu cantik sekali, pasti seperti ibunya”. Aku merasakan kata-katanya bergetar dan membuat degup semakin bergelombang tidak karuan. Aku mengikuti tatapan matanya ke arah anak-anak kami yang sedang berceloteh ria tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku berusaha tersenyum dan menjawab, “putra kecilmu juga tampan, pasti seperti ayahnya”.
Ia tertawa kecil dan menyembunyikan matanya dari tatapanku. Apakah ia sudah membaca mataku tadi? Ohh, aku mematung dan membiarkan angin sore membelai gundah yang membuncah. Tingkahku semakin serba salah.
“Apa kabarmu?”, tiba-tiba ia memecah keheningan.
“Alhamdulillah”, jawabku singkat.
“Maaf….”, kami mengucapkannya serentak. Lalu ia membuatku tersenyum, “duluan saja”.
“Hehehe, maaf karena aku belum sempat mengucapkan kata maaf dulu”.
“Aku juga mau bilang begitu….”.
“Hehehe”, ia kembali tertawa kecil, “kita memang sehati yaaa, sayangnya tidak sejodoh”.
Aku mengangguk pelan dan meresapi kata-katanya perlahan-lahan. “Nama anakmu….”, belum sempat aku melanjutkannya, ia langsung memotong kalimatku, “iyaaa, aku memberi ia nama seseorang yang sangat aku kagumi dulu, hmm, orang yang sangat berarti dalam hidupku…..”. Ia menatapku dan melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus, “yang menulis ratusan puisi untukku….”.
Badanku terasa membeku. Degup jantung menderu jauh dan hampir ikut membeku. Tanda tanya yang sempat mengerubungi otakku hilang. Ternyata ia masih mengingatku. Sementara ratusan kenangan bersamanya telah aku bekukan dalam sebuah album di kedalaman hati. Aku tidak ingin mereka meleleh kembali karena dunia kami sudah berbeda.
Aku menahan nafas beberapa detik dan melepaskannya bersama kalimat, “Putri kecil kami bernama Lia, aku menamakannya, karena aku berharap ia bisa tumbuh seperti sahabat sejatiku yang sangat setia dan selalu berpendar di langit malamku”.
“Lagi-lagi kita memang sehati, hmm terima kasih Akbar, untuk semuanya…, sekarang kita memiliki dunia masing-masing”.
“Aku juga berterimakasih dan memohon maaf kepadamu, Lia….”
“Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya adalah masa lalu, sebuah kenangan terindah dalam hidup kita”
“Ya, kamu benar, sekarang kita mempunyai buah hati masing-masing, semoga saja mereka bisa menjadi sahabat sejati, seperti kita dulu”
Kami tersenyum sambil memandang anak-anak kami. Tiba-tiba suara Adzan menggema dan menggetarkan sanubari. Ia memanggil anaknya dan Lia menghampiriku.
“Aku pamit dulu, salam untuk ibunya Lia”, ujarnya pelan.
“Ya, Insya Allah aku sampaikan, salam juga untuk Ayahnya Akbar”.
Ia mengangguk pelan dan membalikkan badan setelah mengucapkan salam kepada kami. Langkah-langkahnya menyusuri jalan setapak menuju pintu keluar taman. Aku baru melangkah keluar ketika badannya lenyap dari pandangan. Aku mengendong putri kecil kami ke rumah sambil berdoa dalam hati, “semoga kamu bahagia, Lia”.
(CerMin 1. Eskişehir, 07072011, 16.33)