Cinta yang Singgah Sebentar

Sebenarnya Rey percaya pada satu nama yang bisa mengisi kekosongan di hatinya. Tapi dia sedikit ragu.

Hari demi hari berlalu dengan menyisakan pertanyaan dalam hatinya. Ada sesuatu yang kelihatan bijak dan ingin memberi jawaban. Tapi, Rey tak bisa menjawab dengan perasaan yang belum dikenalinya itu.

Rey telah jatuh cinta lagi. Lagi-lagi cinta yang datang mengetuk pintu hatinya. Entah kenapa, dia berani membuka pintu itu; mempersilakan satu nama untuk mengisi kekosongan hatinya.

Sejenak Rey melupakan sejumlah nama yang menyamar sebagai cinta masa lalunya, yang melamar perasaannya untuk dipermainkan dalam hubungan singkat. Sejenak Rey lupa; “cinta seperti itu hanya singgah sebentar, mudah pergi ke luar hati, dan akan menyisakan penyesalan”.

Bingung

Rey bingung. Pikirannya sudah lama terkurung di dalam kamarnya. Dia tidak berani membuka pintu. Mungkin lebih tepatnya dia belum siap ke luar. Sesuatu atau seseorang di balik pintu itu setia menunggunya. Entah sejak kapan…….

***

Cinta yang rumit itu ternyata punya ending yang sederhana. Sebuah kisah yang berakhir bahagia belum tentu dirangkai dengan kata-kata semanis madu di awal mulanya. Bisa saja pahit. Kadang-kadang pedas rasanya. Rumit dijelaskan dengan lidah, apalagi dengan logika manusia.

Jadi, ending-nya seperti ini; dua orang jatuh cinta pada saat yang tepat (tidak cepat, tidak terlambat). Padahal sedetik yang lalu mereka tak saling kenal. Dan entah bagaimana, tiba-tiba ada cinta di antara mereka. Tentu saja, awalnya mereka belum kenal dengan cinta seperti itu meskipun dulu sering kali kata “cinta” keluar dari mulut.

Lalu, awal mula cerita cinta mereka seperti apa? Tentu saja, itu bukan cinta mereka. Tapi cinta masing-masing yang asing. Tak saling melengkapi.

Cinta masing-masing mereka sangat rumit. Dihiasi dengan banyak kesalahan.  Dibohongi oleh jutaan perasaan. Sampai-sampai dijatuhkan martabatnya karena terlalu berlebihan. Itulah cintanya Rey kepada seseorang yang sekarang masih setia menunggunya di balik pintu kamar itu.

***

Rey bingung. Langit di luar sedang mendung. Tapi Rey tak peduli. Padahal dia menunggu hujan turun dari minggu lalu.

Rey suka hujan. Tapi seseorang di balik pintu kamarnya sangat membenci hujan. Sebab kemarin dia meninggalkan Rey sendirian di bawah rintik-rintik basahnya. Sebab kemarin dia pergi berteduh sendiri karena benci. Karena benci kepada Rey yang berbuat salah.

***

Dia sudah memaafkan Rey. Tidak butuh waktu yang lama untuk memaafkan tingkah laku Rey. Karena dia mencintai Rey. Karena dia sangat mencintai Rey. Karena cintanya sangat berlebihan. Telah melampaui batas. Sehingga dia mabuk di daratan cinta dan diamuk gelombang rindu di lautan asmara.

***

Rey bingung. Apakah Anda juga bingung membaca cerita ini? Ya, saya juga bingung. Makanya, judul cerita ini adalah “Bingung”.

*untuk seseorang yang sedang bingung dengan perasaannya, padahal dia hanya perlu melangkah keluar kamar dan memarahi seseorang yang sangat berlebihan itu………

Lupa

Aku suka membacanya. Dia bukan sebuah buku. Bukan juga sepucuk surat cinta. Dia adalah manusia biasa, sama seperti dirimu. Tetapi dia sungguh luar biasa dalam memaknai kedalaman kata. Tak hanya itu, dia tak hanya bercerita lewat mata dan bibir semata, tetapi melalui pemahaman hati yang berbahasa sederhana. Begitu mudah memahaminya. Begitu indah meresapinya.

Aku suka membacanya. Gerak-geriknya tak berlebihan. Kata-katanya tak sekedar ucapan. Aku selalu terkesan.

Tetapi aku berhenti membacanya. Bukan karena satu titik tanda pemberhentian. Bukan juga jeda yang disebabkan sebuah koma. Bukan pula dikarenakan spasi yang menggali jarak untuk seberapa lama.

Aku berhenti membacanya setelah terhisak di depan cermin. Seseorang di dalam cermin itu telah lupa membaca dirinya sendiri.

(CerMin 18. Hisar Evi, 24092013, 20.58)

Setangkai Puisi

Lelaki itu* duduk di sebuah bangku taman kota. Pepohonan rindang mengelilinginya. Tetapi di depannya hanya terbentang pemandangan senja yang utuh. Tak ada yang menghalangi. Ia menatap langit yang hampir jingga sempurna itu sambil tersenyum.

Perlahan jari telunjuk kanannya bergerak seperti kuas seorang pelukis. Menari-nari di udara dengan gemulainya. Seolah-olah langit sore itu adalah sebuah kanvas yang tak berbatas.

Tetapi ia tak melukis. Ia sedang menuliskan huruf per huruf. Lebih tepatnya, ia merangkai kata demi kata dengan jemari serta imajinya. Ia seperti mencoret-coret keindahan senja dengan semburat penuh makna miliknya sendiri. Hanya dia yang bisa melihat dan membacanya.

Lelaki yang duduk di depan langit senja itu berharap kekasih hatinya yang jauh di mata bisa memetik setangkai puisi pada langit senja hari ini….

*sebenarnya lelaki itu adalah aku yang merindukanmu.

(CerMin 17. Yasir Evi, 24102012, 01.25)

Seberkas Cahaya dari Sahabat

Beberapa tahun silam:

Sebuah pesan singkat menggetarkan Nokia 3200-ku. Langsung setelah jemariku membuka kunci tombolnya, sebuah nama muncul di layar. Nama milik seorang yang sangat jauh namun terlalu dekat dari hatiku.

—————————-

”teman itu

seperti bintang

tak selalu nampak

tapi selalu ada

di hati

^_^”

pengirim: Bintang

—————————-

Aku tersenyum setelah membacanya. Meskipun pernah mendengar kata-kata itu dari teman yang lain, pesan sederhananya itu terlihat berbeda. Kata-kata itu bercahaya serupa kerlip gemintang. Entah kenapa ia tiba-tiba menerangi langit hatiku.

***

Cahayanya tidak pernah redup sampai sekarang. Ia benar-benar telah menjelma Bintang. Aku selalu mengenang kebersamaan kami yang hangat dan teduh dalam sebuah persahabatan. Seperti kata-kata yang dituliskannya untukku:

Ran, tadi malam berjuta kenang menjelma kunang-kunang. Mereka mencari cahaya kata-kata dari ladang jiwa kita. Ingin jadikan kerlip makna. Sebab kelam telah dipekatkan. Sebab sepi sudah diheningkan oleh kerinduan. 

Ran, tersenyumlah. Biarkan senyummu purnama. Sebab kunang-kunang ingin jelma gemintang di langit hatimu. Supaya mereka padu dalam cahaya kebersamaan. 

(CerMin 16. Perçin Evi, 29042012, 22.51)

Sepucuk Surat Musim Semi

Musim Semi telah tiba di gerbang kota ini. Aku menyambutnya dengan sebait sajak sederhana ini:

musim semi telah tiba
kujemput ia dengan kata-kata
yang mulai memekarkan makna
persahabatan kita

Aku merangkai kata-kata penyambutan ini ketika menulis secarik surat untuk seorang sahabat. Surat itu serupa Musim Semi. Sebab ia akan memekarkan berkuntum-kuntum rindu pada sahabat yang nun jauh di sana. Semoga saja persahabatan kami tetap menebarkan aroma kesetiaan hingga ke ujung dunia.

”Tak ada yang lebih hangat selain kebersamaan yang senantiasa berbagi dalam suka maupun duka”, ujarnya beberapa tahun silam. Aku semakin kagum padanya. Ternyata sahabat sejati itu masih ada di dunia ini. Ia hidup dalam jalinan persahabatan kami.

***

Sepoi-sepoi angin  sore meneduhkan kerisauan hati. Cukup lama aku duduk melototi layar laptop di balkon rumah. Berulang kali aku me-reload halaman yahoo email. Surat balasan darinya belum juga tiba. Mungkinkah di kotanya masih bermusim dingin?

(CerMin 15. Perçin Evi, 03042012, 19.47)

Menungguku

“Aku akan menunggumu, terus menunggu sampai kau datang”, ujarmu memecah keheningan malam itu. “Kau harus kembali, janji?”.

“Iya, jangan khawatir Adinda, meskipun tersesat aku hanya akan mencari jalan pulang ke pelukanmu”, jawabku mantap.

“Kalau begitu aku tidak akan menunggu”

“Hah?? Kenapa?”

“Karena ada kemungkinan kau akan tersesat dan menemukan tempat persinggahan baru”

“Jadi aku harus berbuat apa? Kau tahu, aku harus menempuh perjalanan ini, tak mungkin kita bersatu sekarang”

“Aku tidak menahanmu pergi. Tidak pernah. Aku juga percaya kepada takdir. Ia akan menuntunmu ke pelukanku jika itu yang tertulis di kitab nyata-Nya”

“Lalu?”

“Aku tidak akan menunggu. Hanya berdiam diri di ranah ini. Aku akan menjemputmu”

“Jadi aku tidak perlu melangkah pulang?”

“Tidak. Kau harus tetap teguh mencari jalan pulang. Teruslah melangkah bersama doa dan harapan. Aku juga begitu. Aku ingin kita bertemu lagi di tengah perjalanan itu. Ketika kau kehilangan arah di luasnya samudra, aku akan menyalakan lampu mercusuar di pantai penantian. Ketika kau tersesat di rimba raya, aku akan mencarimu dan membawa obor untuk menerangi jalan setapak yang kau tempuh. Aku juga akan membangun jembatan di antara hati kita”.

Aku terdiam. “Ada kemungkinan kau akan tersesat juga ketika menjemputku”, bisikku di dalam hati.

(CerMin 14. Perçin Evi, 21022012, 19.29)

Diary Merah Muda

Malam semakin larut. Entah kenapa mataku belum terpejam. Berbagai peristiwa yang ingin kulupakan muncul kembali ke permukaan.

Kulirik sepintas diary berwarna merah muda itu. Ia masih tergeletak di meja belajar. Enggan kusentuh. Percayalah. Aku tidak menginginkan kehadirannya di ruangan ini. Juga tidak ada ruang spesial buatnya.

Semua berawal dari sebuah perhatian seseorang padaku. Tak pernah kuduga sebelumnya kalau semua ini sangat berlebihan. Ia telah terjebak dalam perangkap perasaannya sendiri. Sungguh aku tidak memasangnya. Tiba-tiba saja ia memberikan kejutan yang berhasil mengejutkanku. Sebuah akhir penuh kejutan.

Ia telah berubah. Perhatiannya itu yang telah mengubahnya. Sialnya aku baru sadar setelah membaca halaman pertama diary merah muda itu:

“Adikku, telah mekar sekuntum mawar merah muda di taman hati Abang. Ia harum semerbak. Wanginya menggugah rasa yang telah lama membuncah di dada.

Sejak bertemu denganmu, hari-hariku kembali berwarna. Aku menemukan keceriaan mentari di wajahmu yang menghangatkan pagiku. Purnama di wajahmu selalu benderang di langit malamku.

Adikku yang jelita, kau adalah sekuntum mawar merah muda itu.

Ya, hanya namamu seorang yang mekar di hati Abang.

Maaf karena Abang baru berani mengungkapkan rasa terpendam ini di hari perpisahan kita. Terimalah hadiah tulusku berupa diary berwarna merah muda ini. Semoga kau mengisi lembar-lembar halaman selanjutnya dengan curahan kata-katamu. Semoga saja makna kebersamaan kita bermekaran di diary ini.

The man who adores you.”

Kubiarkan halaman selanjutnya kosong. Aku tak akan menulis sepatah kata pun. Sebab semuanya, termasuk dirinya, adalah omong kosong !

(CerMin 13. Akyurt, 25012012, 07.39)

*kisah di atas adalah fiktif belaka, pabila ada kesamaan kisah atau peristiwa, memang disengaja.

Menjemput Bidadari

Entah kekuatan apa yang menggerakkan langkahku ke tempat ini. Padahal separuh jiwaku telah pergi setelah menerima secarik undangan berwarna biru itu.

 

Aku seperti berada di atas pentas pertunjukan, di mana aku bukan pemeran utama. Aku hanya diundang untuk meramaikan kebahagiaan milik mereka di pentas ini.

 

Aku tersenyum menatap sahabat sejatiku yang sedang memulai babak baru kehidupannya. Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan bahagia. Karena bulan sedang purnama di wajahnya.

 

***

 

Entah kekuatan apa yang menahanku di sini. Padahal makanan spesial yang terhidang itu tidak menggugah rasa laparku. Aku juga sudah mengucapkan ”selamat menempuh hidup baru” pada mereka sambil terus berdoa dalam hati untuk kebahagiannya. Kado spesial berwarna biru juga telah kuletakkan di meja penuh bingkisan. Sepertinya masih ada satu hal yang tersisa….

 

Tiba-tiba aku sudah berdiri di sebuah panggung kecil di sudut keramaian. Lantunan musik darispeaker berukuran besar itu berhenti. Aku menggantikannya dengan alunan sebuah musik yang kusimpan di flashdisk.

 

Lalu suaraku memenuhi sudut-sudut aula besar itu:

 

Bila yakin tlah tiba,

Teguh didalam jiwa

Kesabaran menjadi bunga

 

Sementara waktu berlalu

Penantian tak berarti sia sia 

Saat perjalanan adalah pencarian diri

 

Laksana Zulaikha jalani hari

Sabar menanti Yusuf sang tambatan hati

Di penantian mencari diri

Memohonkan ampunan dipertemukan…..

 

Segera kan kujemput engkau bidadari

Bila tiba waktu kutemukan aku

Ya Ilahi Robbi keras ku mencari diri sepenuh hati

Teguhkanlahku di langkah ini

Di pencarian hakikat diri

Dan izinkan kujemput bidadari

Tuk bersama menuju Mu mengisi hari…

 

Kini yakin tlah tiba

Teguh di dalam jiwa

Kesabaran adalah permata

 

Dan waktu terus berlalu

Penantian tak berarti sia sia

Saat perjalanan adalah pencarian diri

 

Laksana Adam dan Hawa

Turun ke bumi terpisah jarak waktu

Di penantian mencari diri

Memohonkan ampunan dipertemukan

 

Bidadari tlah menyentuh hati

Teguhkan nurani

Bidadari tlah menyapa jiwa 

Memberikan makna

 

Segera kan kujemput engkau bidadari

Bila tiba waktu kutemukan aku

Ya Ilahi Robbi keras ku mencari diri sepenuh hati

Teguhkanlahku di langkah ini

Di pencarian hakikat diri

Dan izinkan kujemput bidadari

Tuk bersama menuju Mu mengisi hari……

 

mengisi hari……….*

 

***

 

Aku terdiam melihat ke arah pelaminan. Suaraku bergetar ketika menyanyikan kata-kata itu. Aku berusaha keras membendung aliran yang hendak tumpah dari telaga mataku. Tetapi aku melihat aliran sungai kecil di wajahnya. Ohh, purnama di wajahnya redup.

 

”lagu ini saya persembahkan untuk Dara Baro dan Linto Baro yang berbahagia di hari spesial ini. Ini sebuah kado persahabatan. Hmmm, semoga Bidadarinya selalu bahagia….”

 

Tepukan tangan dari keramaian menyertai langkah-langkahku ke pintu keluar. Aku berpaling sejenak ke arahnya. Aku berbisik di hati, ”hal yang kamu impikan telah kupenuhi dengan tulus, semoga rembulan di wajahmu selalu purnama”.

 

(CerMin 12. Yıldırım Evi, 20112011, 16.49)

 

*nasyid Menjemput Bidadari.

Dear Dek Yi: Mengenang “Moly & Emi”

Di bawah sinar rembulan, seorang lelaki menggenggam sebuah pena. Ia sedang menulis di secarik kertas, sebuah surat.

Di paragraf pertama tertulis:

“Dear Dek Yi,
Meskipun jarak belum mampu menaklukkan kesabaran, ia dapat memekarkan kerinduan. Saban hari, aku mengenang kenakalan dalam kebersamaan kita yang singkat. Suatu masa yang indah untuk kurindukan, Dek Yi….”

Paragraf kedua diisi dengan:

“Pada masa yang indah itu, kita masih terlalu kecil untuk mendefinisikan “cinta” dan belum mampu menulis “i love you”, tetapi kita mengejanya “a-lopyu” tanpa peduli bagaimana bentuk nyatanya.

“Hahahahaha……..”, aku menertawakan perseteruan tentang cinta-cintaan. Kita berperang mulut demi sebuah kemenangan: ‘namamu dg Emi’ atau ‘namaku dg Moly’ yang gagal kita bantah.”

Lelaki itu tersenyum lepas, tubuhnya masih bermandikan cahaya rembulan. Dia belum menemukan kalimat penutup untuk mengakhiri surat yang belum rampung.

(CerMin 11. Eskişehir, 15082011, 13.14)

Catatan Biru

……….

“Gerimis baru saja reda. Tetapi langit masih muram, diselimuti awan hitam tebal. Tak dibiarkan matahari berpesta dengan kemerlapan cahayanya. Sama halnya dengan langit hatiku.”

Dia berhenti membaca karena gerimis itu pindah ke matanya. Semakin deras. Tak dapat ia bendung luapan duka yang menganak sungai di bawah kelopak mata.

“Maafkan aku”, ucapnya lirih.

***

Sebuah diary berwarna biru terbuka di atas ranjang. Di sampingnya, seorang pemuda tergeletak sendiri. Kedua matanya masih terbuka. Sungai-sungai di bawah kelopak matanya juga belum kering. Tetapi ia tidak bergerak. Kaku. Telah lama tenggelam dalam lautan darah yang memerahkan sprei ranjangnya.

Sebuah pisau juga tergeletak di lantai…..

Ada coretan berwarna merah di halaman diary yang terbuka itu. “I still love you” yang ditulis dengan darah. Ia menjadi lembaran catatan terakhir di diary biru pemberian kekasih yang telah lama pergi.

(CerMin 10. Eskişehir, 13082011, 13.30)

Sebuah Kalimat Pertama Menjadi yang Terakhir

“Langit kelam dan suara kami bungkam.” Hanya satu kalimat ini yang bisa kutulis ketika mengisahkan cerita tentang aku dan dia. Kamu pasti tidak akan percaya kalau aku mencoret-coret langit dengan namanya sehingga tinta penaku habis. Aku memilih melakukan itu daripada menyambung kalimat pertama di atas.

Percayalah, aku adalah jagoan dalam urusan menulis. Tetapi aku rela menjadi pengecut gara-gara kalimat itu tidak pernah rampung kutulis menjadi sebuah cerita tentang aku dan dia.

Oh iya, kamu pasti penasaran kenapa kalimat yang tertata dengan kata-kata biasa itu dapat menggigilkan jemariku? Kenapa tidak pernah aku rampungkan? Ahh, jawabannya sangat sederhana, Kawan. “Aku dan dia belum memulai sebuah kisah karena malam itu suara kami bungkam.”

(CerMin 9. Eskişehir, 29072011, 19.45)

Lelaki Aneh

Kamu pasti tidak akan percaya jika aku mengenal seorang lelaki yang tidak merindukan kampung halamannya. Aneh kan? Aku juga baru percaya.

Lelaki itu berbeda Tiga Enam Puluh derajat denganku. Aku telah lama menuang kerinduanku ke dalam gelas-gelas sajak yang tidak pernah penuh karena selalu kuteguk untuk mengobati kerinduan kepada kampung halaman. Sementara ia tidak pernah sekalipun menyebut kata “rindu” kepada siapapun.

Kamu pasti bertanya, “apakah ia bisu?”. Tidak. Ia tidak bisu, hanya saja ia menelan banyak butir-butir pil pahit kehidupan ketika masih mengembalakan mimpi-mimpinya di kampung halaman. Jangan tanyakan lagi seperti apa kepahitan itu. Cukup lelaki itu saja yang tahu.

Aku yakin kamu sudah mengerti maksudku. “Lelaki itu memadam rindu dalam dendam.”

(CerMin 8. Eskişehir, 16072011, 13.33)

Jeda

Pepehonan kata yang kau tanam di taman racun itu meneduhkan langkah-langkahku di dunia maya. Dalam jeda sejenak, aku mengunjungi berandamu. Tahukah kamu? Diam-diam aku telah membangun sebuah pintu di berandamu. Ya, sebuah pintu masuk ke taman racun itu. Entahlah, aku hanya ingin berteduh di bawah kerindangan pepohonan katamu sambil melihat banyak insan berlalu lalang. Mereka menyemangatimu dan menanam kata-kata di sana. Akankah mereka menguncupkan tunas-tunas makna untukmu??

Ahh, aku tidak mau menghiraukannya. Kubuang perasaan yang hanya akan menyiakan arti persahabatan. Aku takut sayap akan tumbuh di badanku dan menjelma menjadi kumbang. “Jangan biarkan bisikan-bisikan cemburu di hati membuatmu terbang jauh darinya”, teriak sebuah suara di kedalaman hati.

Ahh, akhirnya aku bisa tersenyum kembali. Aku akan terus bersyukur karena bisa berteduh di berandamu. Banyak pelajaran dan hikmah yang kupetik tiada henti dari pepehonan katamu. “Terima kasih telah menjadi seorang sahabat sejati untuk sebuah bintang yang masih redup di langit malam”, ucapku sambil melanjutkan jeda di berandamu.

(CerMin 7. Eskişehir, 15072011, 14.32)

Dua Dunia

“Sekarang dunia menjadi dua; online dan offline”, ujarmu sambil menyeruput secangkir kopi panas yang terhidang di depanmu.
“Maksudmu, dunia maya dan dunia nyata?”, sahutku.
“Bukan, dua-duanya adalah maya. Tidak ada yang nyata sebenarnya. Kita sudah tahu kalau dunia ini hanya diciptakan sebagai tempat persinggahan sementara, yang nyata adalah dunia keabadian yang sedang menunggu kita”
“Terus?”
“Ya di dunia maya ini, kita online di siang hari dan offline di malam hari”
“Begitu saja?”
“Ia, tetapi sayangnya, kita hanya online untuk berinteraksi dengan sesama manusia dan memenuhi kebutuhan maya kita, sering sekali kita lupa untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta dunia maya ini, padahal kita sangat membutuhkan-Nya”
“Ya, aku setuju. Hanya ada sedikit manusia yang beruntung karena mereka terus online walaupun manusia lain sedang offline”
“Maksudmu?”
“Mereka tidak pernah lupa kepada Sang Penciptanya walaupun di malam hari. Hati mereka senantiasa online dan mengingat-Nya”
“Hmm, semoga kita termasuk ke dalam golongan manusia seperti itu”
“Amiin,, asalkan saja kita tidak pernah lupa kalau sedang menghembuskan nafas di dunia maya”

(CerMin 6. Eskişehir, 10072011, 14.49)

Pembaca

“Dedaunan tetap hijau walaupun dibakar matahari”, ujarmu tiba-tiba pada suatu siang. Aku menoleh ke arahmu dan kemudian mengikuti arah pandanganmu ke pohon Platanus orientalis. “Kau tahu kenapa?”, kau bertanya sambil menatapku. “Karena ia memang sudah hijau sejak diciptakan, walaupun dibakar terik matahari sepanjang hari, ia akan tetap hijau”, jawabku dengan nada penuh kemenangan. Aku yakin kalau jawabanku pasti benar dan menganggap pertanyaanmu sangat konyol. Tetapi sejurus kemudian aku terkejut. Kau berani mengatakan kalau jawabanku salah besar. Aku setengah tidak percaya dan menatapmu dengan mata terbuka lebar.

Kau tersenyum dan berkata, “dedaunan tetap hijau karena mereka bertasbih tiada henti memuja Sang Pencipta, persis seperti anggota badan Nabi Ibrahim a.s ketika dibakar di dalam nyala api, Sang Pencipta menyuruh api menjadi dingin, kemudian panasnya matahari menjadi sebuah kompor pemasak makanan lezat bagi tanaman itu.” Aku mencerna kata-katamu. Sungguh luar biasa bijaknya. Penuh makna. Diam-diam aku semakin mengagumimu. Kau adalah orang yang terus membaca dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berlimpah ruah di jagad raya ini.

“Ajari aku membaca, aku ingin menjadi muridmu”, pintaku kepadamu.

(CerMin 5. Eskişehir, 10072011, 14.03)

Maaf

Kepada Daun,

Sebelum aku bertanya tentang beberapa sajak yang kurangkai untukmu, yang terabaikan hingga terhempas di langit kelabu, izinkan aku mengatakan kata yang berulang kali terucap di hati : maaf.

Jangan hiraukan puisi-puisi yang sempat menari-nari di pentas sandiwara cinta. Mereka hanya berdusta dalam kegalauan masa muda. Ternyata suka tidak sama dengan cinta.

Maafkan kata-kataku yang telah menggali jurang dalam di antara kita.

Maafkan kata-kataku yang berdusta tentang rasa suka. Sebenarnya rasa itu lahir pertama kali ketika mata bertemu mata. Hari itu, di sudut restauran Amerika, aku hanyut dalam telaga matamu hingga benar-benar tenggelam. Padahal 6 tahun silam aku tidak merasakan apa-apa.

“Sungguh, mata membuatku buta tentang makna cinta.”
Maafkan.

Alhamdulillah, aku telah belajar memaknai cinta setelah kata-kataku melukai persaudaraan kita dengan goresan suka. Aku sedang bercermin di depan keretakan hubungan kita. Maafkan dan lupakan !

(CerMin 4. Eskişehir, 09072011, 11.22)

Darah Syuhada

Darahku mendidih ketika membaca ulang halaman-halaman sejarah Nanggroe yang hanya dibiarkan lapuk termakan tipuan oleh tuan-tuan penguasa. Dimana setiap lembar berisi kalimat pembantaian yang mengucurkan darah merah. Tidak kah kau baca? Darah itu adalah darah syuhada yang tidak pernah menuntut balas kepada tuan-tuan penguasa. Doa-doa tulus mereka kepada Sang Pencipta cukup untuk membalas jutaan (bahkan tak terhitung) kekejian pasukan tuan-tuan penguasa.

Air mata kami adalah sungai-sungai doa yang akan menenggelamkan para pasukan tuan-tuan penguasa. Mereka akan hanyut ke satu muara, yaitu neraka jahannam jikalau keMahaPengampunan-Nya tidak menyentuh mereka. “Semoga saja tidak”, harap dan pinta jutaan anak yatim yang di-yatimpiyatu-kan oleh moncong senjata para pasukan tuan-tuan penguasa.

“Allah Maha Adil dan Maha Mendengar”, ujar kami kepada sesama. Biarkan mereka tertawa di dunia dan berduka di hadapan-Nya.

“Saya tidak marah dan tidak dendam kepada mereka yang melakukan pembantaian, karena semua itu, sebab dari mereka itu merupakan ajal daripada Allah, yang datang dari pada Allah. Tetapi saya sangat menyesal apabila mereka tidak mau kembali kepada jalan yang benar” kemudian Teungku Maliul melanjutkan “Ingatlah kejahatanmu yang pernah kamu lakukan terhadap orang lain dan lupakanlah kebaikanmu yang pernah kamu lakukan terhadap orang lain. Maka lupakanlah kejahatan orang lain yang pernah mereka lakukan terhadapmu. Maka bertaubatlah atas dosa-dosa yang telah kita kerjakan karena sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat”

***

Bukit-bukit yang ditinggal para syuhada pernah menjulang dan menyentuh Syurga. Di sana darah mereka menumbuhi tunas-tunas pemuda yang rajin beribadah, yang menebarkan wewangian tingkah tauladan, dan yang terus membaca halaman demi halaman sejarah.

“Mari berjuang memajukan tanah yang sangat subur dan pernah tergenangi darah para syuhada”, seruku kepada rakan-rakan semua.

(CerMin 3. Eskişehir, 08072011, 17.33)

Penjaga Mimpi

Aku membiarkan jendela terbuka. Angin malam mulai masuk ke dalam kamar. Ia menemaniku menatap gemintang yang setia berpendar di langit kelam.

“Aku akan menjaga mimpimu”, ujarku kepadamu pada sebuah obrolan di dunia maya.
“Aku juga akan menjaga mimpimu, saat kau mulai terlelap, aku akan terjaga di belahan bumi ini”, jawabmu.

Aku kembali menatap kerlip gemintang di atap langit nun kejauhan sana. Ternyata jarak kita tidak jauh. Kita masih menatap gemintang yang sama walaupun waktunya berbeda. Tidak ada yang perlu dirisaukan meskipun Ibu kota menghalangi pandang dari cahaya gemintang. Seperti katamu dalam sebuah baris sajak indahmu, “kupejamkan mata, dan kurasakan ada bintang di hatiku.”

(CerMin 2. Eskişehir, 07072011, 23.50)

Pertemuan Terakhir

*my first Cerita Mini, selamat membaca :)*

Warna senja telah luntur di kaki langit. Beberapa rombongan “kuek aluek-aluek” sedang melintas di cakrawala yang mulai dicumbui temaram. “Hmm,Mereka sedang kembali ke sarang”, gumamku.

Aku melihat putri kecil kami masih bermain dengan beberapa anak seusianya. Mereka sedang asyik membangun “istana” pasir. Dia kelihatan gembira seolah-olah dunia ini hanya diciptakan untuk taman bermain untuknya.

Sejenak aku menghela nafas panjang sambil menatap senja yang telah pudar. Sore ini aku mengajak si buah hati kami ke taman ini. Sayangnya istri tercinta tidak bisa menemani kami karena ia harus memasak bersama ibu di rumah. Aku tersenyum membayangkan dua jagoan masakku sedang unjuk gigi dalam menyajikan makanan terenak di dunia. Ahh, perutku semakin lapar.

Taman ini mulai sepi. Beberapa anak telah diajak pulang oleh orang tua mereka masing-masing. Aku melihat tangan putri kecil kami masih menyentuh gundukan pasir. Ia ditemani seorang bocah laki-laki. Kelihatannya mereka ditinggal berdua oleh teman-temannya. “Hmm, sebentar lagi Maghrib, sebaiknya kita pulang”, gumamku sendiri.

“Liaaaa”, aku berteriak memanggil buah hati kami. Tetapi aku kaget, bersamaan dengan teriakanku, aku mendengar sebuah suara yang memanggil namaku. Suara yang terasa tidak asing bagiku.

Spontan aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Dalam beberapa detik, mata kami bertemu. Aku seperti hanyut di dalam telaga matanya. Semakin dalam tatapannya. Tiba-tiba, putri kecil kami, Lia, sudah berada di sampingku. Aku kembali sadar kalau aku sedang berpijak di bumi ketika Lia menggoncangkan tubuhku berulang kali.

“Ayah, ayaaaah…, ayo kita pulang”, ujarnya dengan manja.
“Oh Lia sayang, hmm, ya kita pulang sebentar lagi”, sahutku sambil menatapnya dan membersihkan bajunya dari kotoran butir-butir pasir.

Sejurus kemudian mataku kembali menatap ke arah perempuan itu. Ia juga sedang menatap ke arah kami dan tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Oh, lagi-lagi, senyuman itu terasa tidak asing bagiku. Ribuan tanda tanya sedang mengerubungi otakku.

“Ayah, itu Akbar. Teman baru Lia”, celoteh putri kecil kami sambil menunjuk ke arah bocah laki-laki yang sedang memegang tangan perempuan itu.
“Ohh, Akbar???”, sahutku pelan.
“Iya, tadi kami membangun istana pasir yang besaaaaaar sekali”, jawabnya dengan wajah cerah, “ayoo kita ke sana dulu sebentar Yah, Lia mau kenalin Ayah ke Akbar”.

Kami mendekat ke arahnya. Jantungku berdegup tidak karuan. Aku kembali merasakan debar-debar ombak kerinduan yang dahulunya pernah kurasakan dan tertulis di bait-bait sajakku. Sebuah rindu yang mengalun dan menjadi buih setelah penantian panjang.

Tiba-tiba aku telah berada tepat di hadapan mereka. Langkahku kaku. Aku berusah keras untuk bersikap seperti biasa, tetapi ribuan tanda tanya itu membuat suaraku bergetar.

“Assalamu’alaikum”, sapaku.
“Wa’alaikumsalam”, sahutnya sambil tersenyum.

Oh, jantungku berdegup semakin kencang ketika mendengar suaranya. “Tidak salah lagi, ini pasti dia”, teriak sebuah suara di kedalaman hatiku.

Aku masih setengah tidak percaya. Aku takut tenggelam lagi di telaga matanya. Cepat-cepat aku palingkan pandangku. Aku menatap bocah laki-laki di pangkuannya.

“Oh ini teman barunya Lia, Akbar-kan? Nama yang bagus”, aku berusaha memecah kesunyian.
“Ya, kelihatannya anak kita sudah berteman akrab, semoga saja bisa menjadi sahabat sejati”, jawab perempuan itu, “seperti ibu dan ayahnya”.

Aku terperanjat. Kalimat terakhir yang diucapkannya menusuk hati dan menyeret ingatanku kembali ke belasan tahun silam. Aku semakin yakin kalau perempuan itu adalah dia. Ya, tidak salah lagi.

Aku kembali menatap kedua matanya. Telaga telah mengkristalkan butir-butir air mata. Tergenang sebuah kenangan di sana. Ia mencoba membendung sungai yang telah siap mengaliri ke dua pipinya. Ohh, aku tidak sanggup menatapnya lagi. Semakin lama aku akan semakin hanyut dalam sebuah penyesalan. Apakah mata kami masih bisa bicara?

Sebelum aku menemukan jawaban, ia mengalihkan pandang ke Lia. “Putri kecilmu cantik sekali, pasti seperti ibunya”. Aku merasakan kata-katanya bergetar dan membuat degup semakin bergelombang tidak karuan. Aku mengikuti tatapan matanya ke arah anak-anak kami yang sedang berceloteh ria tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku berusaha tersenyum dan menjawab, “putra kecilmu juga tampan, pasti seperti ayahnya”.

Ia tertawa kecil dan menyembunyikan matanya dari tatapanku. Apakah ia sudah membaca mataku tadi? Ohh, aku mematung dan membiarkan angin sore membelai gundah yang membuncah. Tingkahku semakin serba salah.

“Apa kabarmu?”, tiba-tiba ia memecah keheningan.
“Alhamdulillah”, jawabku singkat.

“Maaf….”, kami mengucapkannya serentak. Lalu ia membuatku tersenyum, “duluan saja”.
“Hehehe, maaf karena aku belum sempat mengucapkan kata maaf dulu”.
“Aku juga mau bilang begitu….”.
“Hehehe”, ia kembali tertawa kecil, “kita memang sehati yaaa, sayangnya tidak sejodoh”.

Aku mengangguk pelan dan meresapi kata-katanya perlahan-lahan. “Nama anakmu….”, belum sempat aku melanjutkannya, ia langsung memotong kalimatku, “iyaaa, aku memberi ia nama seseorang yang sangat aku kagumi dulu, hmm, orang yang sangat berarti dalam hidupku…..”. Ia menatapku dan melanjutkan kalimatnya yang sempat terputus, “yang menulis ratusan puisi untukku….”.

Badanku terasa membeku. Degup jantung menderu jauh dan hampir ikut membeku. Tanda tanya yang sempat mengerubungi otakku hilang. Ternyata ia masih mengingatku. Sementara ratusan kenangan bersamanya telah aku bekukan dalam sebuah album di kedalaman hati. Aku tidak ingin mereka meleleh kembali karena dunia kami sudah berbeda.

Aku menahan nafas beberapa detik dan melepaskannya bersama kalimat, “Putri kecil kami bernama Lia, aku menamakannya, karena aku berharap ia bisa tumbuh seperti sahabat sejatiku yang sangat setia dan selalu berpendar di langit malamku”.

“Lagi-lagi kita memang sehati, hmm terima kasih Akbar, untuk semuanya…, sekarang kita memiliki dunia masing-masing”.
“Aku juga berterimakasih dan memohon maaf kepadamu, Lia….”
“Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya adalah masa lalu, sebuah kenangan terindah dalam hidup kita”
“Ya, kamu benar, sekarang kita mempunyai buah hati masing-masing, semoga saja mereka bisa menjadi sahabat sejati, seperti kita dulu”

Kami tersenyum sambil memandang anak-anak kami. Tiba-tiba suara Adzan menggema dan menggetarkan sanubari. Ia memanggil anaknya dan Lia menghampiriku.

“Aku pamit dulu, salam untuk ibunya Lia”, ujarnya pelan.
“Ya, Insya Allah aku sampaikan, salam juga untuk Ayahnya Akbar”.
Ia mengangguk pelan dan membalikkan badan setelah mengucapkan salam kepada kami. Langkah-langkahnya menyusuri jalan setapak menuju pintu keluar taman. Aku baru melangkah keluar ketika badannya lenyap dari pandangan. Aku mengendong putri kecil kami ke rumah sambil berdoa dalam hati, “semoga kamu bahagia, Lia”.

(CerMin 1. Eskişehir, 07072011, 16.33)