Talking Mind (7)

Kau kedinginan. Ujung jemarimu sedikit bergemetaran. Tetapi entah kenapa, di sore musim gugur ini, kau memaksanya menekan-nekan keypad HP kesayanganmu.

Kau ingin merenung. Tadi kau begitu lama melirik ke luar jendela. Hanya ingin memastikan bahwa langit belum senja. Sehingga hal sia-sia tak menjelma bukit kecemasan. Kau membiarkannya mewarnai langit sore sebab kau ingin bercermin dari cahayanya.

Sungguh banyak yang ingin kau tuliskan. Kata-kata berdesakan di suatu ruang tunggu di dalam anganmu. Berbagai cerita ingin kau sampaikan.

Di daftar playlist GOM Audio-mu, puluhan lagu juga sedang menunggu gilirannya masing-masing. Akan segera diputar menjadi nada-nada indah di telingamu. Ah, mungkin kau belum gila. Sebab sejak beberapa hari lalu kau selalu mendengarkan lagu yang sama. Sebuah lagu yang berulang kali mengingatkanmu agar ”Jangan Gila” (B.C.L).

Kau masih kedinginan. Padahal ada selimut tebal terlipat rapi di sebelahmu. Kau terlalu mempercayakan sarung bermotif kota-kotak ini untuk mengusir dingin dari sekujur tubuhmu.

Ah, kau masih belum terbiasa dengan cuaca kota ini. Meskipun empat tahun lamanya kau bertahan di sini. Mungkin karena kepulanganmu waktu itu. Cuaca desa kelahiranmu membuatmu kepanasan. Kau selalu berkeringat secara berlebihan. Sungguh perbedaan yang sangat nyata. Antara panas yang menyengat dengan panas yang bersahaja, hanya hangat, di kota Ankara.

Hari itu, Senin paginya permulaan kuliah, kau melangkah keluar dari rumah dengan gigil di badan. Sepanjang jalan ke terminal bus kau kedinginan. Kau berdiri lama, di antrian terdepan, menghalau rasa dingin yang menyerbu dari segala penjuru. Kau tak menyangka bisa kedinginan seperti itu. Sampai-sampai kau pusing dan mual-mual di dalam bus yang mengantarkanmu ke kampus itu. Kau ingin turun di tengah perjalanan. Tetapi itu tak memungkinkan. Kau harus tiba di kampus pagi-pagi. Tak ada pilihan lain selain bertahan. Kau merasa agak lega setelah menemukan permen Kopiko di saku tasmu. Permen pemberian sahabatmu di hari keberangkatan ke negeri ini telah menyelamatkanmu dari rasa sakit yang tiba-tiba.

Kau langsung sakit di esok harinya. Demam. Pusing. Tak enak badan. Kau tak bisa keluar dari rumah. Kau sadar bahwa kau butuh waktu yang lama untuk kembali terbiasa dengan cuaca kota ini.

Seminggu di kota ini, kau banyak membayangkan hari-hari lalu di kampung halaman. Banyak kerinduan yang terobati di sana. Juga begitu banyak hal yang terlewatkan begitu saja.

Beberapa malam ini kau bermimpi hal yang sama. Tentang rumah di kampung halaman beserta para penghuninya. Tentu saja, kau berada di antara mereka. Merayakan kebersamaan yang akrab dan hangat. Kau seperti kembali ke masa kecil. Bermain sepenuh hati tanpa kekhawatiran apapun. Hanya menikmati sisa-sisa hari yang terbungkus dalam ingatan lama.

Dingin kota ini menggigilkan kerinduanku. Berulang kali……….

(Hisar Evi, 01102013, 22.54)

Talking Mind’s September ’09 (Part 2)

………………………………………………………………….

Keluarga. Dulu, kau mendefinisikan keluarga dalam arti yang sempit. Terdiri dari Bapak, Ibunda, Bang Di, kau, Dek Yi, Aci, Nelly dan ditambah Misyik, Mami, Abu dan Cek Bit. Merekalah keluargamu. Tapi, kau menemukan keluarga lain disini. Sebuah keluarga yang nama-nama anggotanya tak mampu kau sebut satu persatu. Keluarga besar yang saling bahu membahu membantu satu sama lain di jalanNYA. Dan kau telah menjadi bagian dari mereka.

Hari itu, di lembaran ketigabelas, seorang anggota keluarga mengajak kalian ke sebuah toko baju. Beliau menyuruh kalian memilih baju, sepatu, celana, dll sesuka hati kalian. Subhanallah, kau tak mampu berkata apa-apa selain Alhamdulillah dan terima kasih. Beliau mengingatkanmu kepada seseorang yang kau panggil Bapak. Seorang Bapak yang sedang membelikan baju baru untuk putra tercintanya. Kau mendapati raut bahagia di mukanya ketika satu kemeja lengan panjang beserta kaos dan celana panjang sudah berpindah ke tanganmu. Beliau adalah salah satu Ayahanda kalian disini.

Masih tentang keluarga. Pada lembaran terakhir Bulan Suci Ramadhan, seorang Abang mengajak kau dan seorang temanmu kembali ke Istanbul selama beberapa hari. Kau diajak merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarganya disana. Hari Raya pertama di negeri asing tapi tidak asing karena kau berada di tengah-tengah sebuah keluarga. Keluarga yang menjadikan kau sebagai seorang raja di rumah mereka. Keluarga yang menyayangimu sebagai bagian dari mereka. Masih melekat di hatimu kata-kata dari mulut seorang Ibu di rumah itu. “Saya adalah ibu keduamu, sekarang ibu kalian ada dua, satu di Aceh dan satu lagi disini”. Saat itu, kau sangat bahagia dan tersenyum melihat ketulusannya. Sayangnya, Bahasa Turkimu masih terbata-bata, kau belum mampu berbicara banyak dengannya, tapi kau bisa merasakan cinta dari seorang ibu selama disana.

Esok harinya, M**mut ab*, orang yang sudah kau anggap sebagai Abangmu sendiri, mengajak kalian jalan-jalan sore di pinggiran laut Kota Istanbul. Kau mengagumi keindahan karyaNYA. Langit biru memayungi lautan biru. Ombak-ombak bergulung membawa pikiranmu ke suatu tanah yang dikelilingi laut serta samudra biru. Kau ingin berlama-lama di sana karena kau merasa semakin dekat dengan tanah kelahiranmu. Sore itu, kau sampaikan salam rindu kepada Ibunda dan Ayahandamu melalui laut biru.

Kejutan. Di lembaran keduapuluhdua, “orang tua kedua”-mu mengajak kalian jalan-jalan menelusuri jalan raya Istanbul dengan mobil pick-up besarnya. Mereka memberi kejutan di Çetinkaya, sebuah Mall. Lagi, kamu terkejut dengan kebaikan mereka yang tak sanggup kamu balas. Mereka membelikanmu sebuah Jacket Musim Dingin tebal yang mahal, Sepatu Bot untuk Musim Dingin, sebuah Sweater Biru kesukaanmu, dan beberapa pasang kaus kaki. Kau tak bisa menolak dan hanya mampu berkata : “Allah Razi Olsun, kesene bereket”. Hari itu, beliau juga menggoreng ikan untuk kalian, karena mereka ingin kalian merasakan “rumah” di rumahnya. Kau terharu dengan kebaikan mereka.

Kau betah di sana. Tapi kau harus kembali ke jembatan impianmu di kota Ankara. Tepat di malam lembaran dua puluh lima, kau terpaksa mengucapkan kata selamat tinggal kepada mereka. Malam itu, kau meninggalkan sebuah rumah mewah berfasilitas WiFi, berlantai tiga, memiliki kebun luas yang dipenuhi bermacam-macam sayur serta buah. Rumah yang telah menjamu kalian dengan kehangatan dan kebaikan sebuah keluarga. Kau sangat bersyukur dan berjanji untuk tidak melupakannya.

Esok harinya, kau tiba di Ankara. Setelah beristirahat selama beberapa jam, kau harus pergi ke kampus untuk mendaftarkan mata kuliah yang kau ambil untuk semester perdanamu dan mendapatkan “approval” dari advisor-mu. Bingung. Kau masih bingung dengan sistem kuliah yang aneh dan baru bagimu. Lagi, M**mut ab* membantumu pada hari itu….

Rumah baru. Akhirnya, kau ditempatkan di rumah yang tetap untuk setahun yang akan datang. Di lembaran dua puluh tujuh, kau mengakhiri masa-masa “nomaden”-mu. Kau tinggal di sebuah rumah yang bernama “Yağmur Evi” (Rumah Hujan) bersama 4 mahasiswa lainnya. Alhamdulillah, salah satu dari mereka adalah rekan sebangsamu. Namanya H**i ab*, abang letingmu yang banyak membantumu di kehidupan barumu sebagai anggota rumah yang dituntut untuk mandiri.

Hari itu, tiga hari terakhir lembaran September, 28. Hari pertama kau kuliah sebagai seorang MAHASISWA internasional di Middle East Technical University, jurusan Biologi. Sebelum jam 7.30 pagi, kau dan belasan mahasiswa asal Indonesia lainnya telah berbaris rapi dalam satu antrian panjang di depan pagar sebuah sekolah, dekat durak (halte bus). Kau menunggu kedatangan Bus Service 423 yang akan mengantarkan kalian ke kampus. Ya, kampus. Sepertinya kau harus terbiasa dengan kehidupan kampus. Kau harus bisa bertahan. Dan September pun berlalu, meninggalkan kau yang sedang memasuki rimba baru !!

Talking Mind’s September ’09 (Part 1)

Awal September, Sang Surya masih bersedia membagi kehangatannya. Bayu pun mulai sering menyentuh dedaunan maple yang melambai-lambai dalam barisan pepehonan sepanjang jalan di Kizilay, pusat kota Ankara. Kau terlihat acuh dengan keramaian manusia asing yang memenuhi ruas jalan ibu kota. Ya, mereka orang asing bagimu seperti mereka menyebutmu “YABANCI” (orang asing). Kau semakin terbiasa bertatap muka, berbicara, atau sekadar menyapa “bule-bule” negara ini. Bahkan, kau tinggal serumah dengan mereka yang pernah kau anggap asing dulu, yang telah menjadi saudaramu kini.

Awal September, beberapa helai dedaunan telah gugur di bawah sinar mentari pagi. Menandakan kedatangan musim gugur, yang telah lama kau nanti-nantikan. Kau hanya ingin melihat dedaunan maple berguguran bersama bayangan dia, yang telah kau kecewakan dengan pseudolove-mu dulu. Berharap ia tak kan bersemi lagi di hatimu. Karena kau belum bisa mendefinisikan arti suka ataupun cinta. Semuanya adalah racun yang hampir mematikan persahabatan kalian.

Persahabatan. Kau sangat takut kehilangan Sahabat seperti siang yang takut kehilangan matahari. Lembaran keenam adalah hari spesial yang kau nanti-nantikan. Tepat 18 tahun yang lalu, seorang sahabat yang baru kau kenal 5 tahun silam dilahirkan ke dunia ini. Ia telah banyak menggetarkan hatimu, tetapi kau tidak ingin menodai persahabatan itu. Kau ingin persahabatn itu abadi supaya tak ada yang hilang. Kau berusaha menahan setiap harapan yang sering muncul dalam bingkai persahabatan itu. Biarlah waktu yang menjawab semuanya karena ia akan mengalir sesuai takdir yang telah ditulis oleh Yang Maha Mengetahui.

Di lembaran kedelapan September, perang pertamamu dimulai. Sebuah perang kecil ketika kau sedang berperang dengan sengit dalam perang terbesar melawan hawa nafsu, dahaga dan kelaparan selama berpuasa di bulan suci nan penuh berkah, Bulan Ramadhan. Ya, itu adalah puasa perdanamu di negeri asing atau di perantauan, jauh dari rumah beserta keluargamu.

Perang kecil itu adalah English Proficiency Exam. Sebuah ujian yang menentukan satu tahun ke depan, kelas persiapan Bahasa Inggris atau mulai kuliah sebagai seorang mahasiswa !! Ujiannya 2 tahap, hari pertama kau dituntut menjawab 40 soal Grammar dan 30 soal Reading. Alhamdulillah, kau bisa menaklukkannya dengan nilai yang pas-pasan. Di hari kedua, kau harus berhadapan dengan soal-soal Listening, Note Taking dan Writing yang tergolong sulit. Alhamdulillah, kau kembali mengucapkan syukur kepadaNYA, kau berhasil lulus ujian tersebut dengan nilai 65.
Ramadhan. Kau berusaha mengisi lembaran suci bulan mulia itu dengan syukur. Ya, syukur walaupun hidangan berbuka berbeda 180 derajat dengan yang di rumah. Syukur walaupun Shalat Tarawih agak berbeda dan mulai jam 11 malam. Syukur walaupun tak dapat makan daging bersama-sama dengan keluarga di Hari Meugang. Syukur. Tetap bersyukur karena kau telah diberi kesempatan untuk merasakan keagungan Ramadhan.

…………………………………………………
Bersambung ke Part 2 >>>>>> ❗

Talking Mind’s August

Awal Agustus. Kau menghabiskan 3 hari terakhirmu di Istanbul. Tepatnya di lembaran keempat, jam 9 pagi, kau berangkat ke ibukota negara, Ankara. Bus EFE tour mengantarkanmu beserta teman-teman seperjuanganmu kesana. Hanya ada satu tujuan : untuk merajut cita-cita di jembatan masa depanmu !!!

Mereka menyambutmu di terminal bus ibukota (ASTÎ). Mereka adalah abi-abi yang akan membina kalian. Kau ditempatkan di sebuah rumah dengan beberapa temanmu. Dua orang kakak kelasmu mendampingi kalian. Kau banyak belajar dari keteguhan mereka. Disanalah kau mulai belajar arti ”melayani” yang sesungguhnya dalam Islam.

Ankara gersang. Pepohonan sangat sedikit bila dibandingkan dengan gedung-gedung yang menjulang. Itulah kesan pertamamu. Kau mulai menghirup aroma ibukota yang tak terlalu ramai ini.
Kau akan menghabisakn akhir musim panas disini.

Hari itu, di lembaran kesembilan, kau ikut memeriahkan acara perlombaan Futsal dalam rangka memperingati HUT RI, pihak KEDUBES RI yang menyelenggarakannya. Di luar dugaan, timmu berhasil menjadi juara dengan mudah. Kemudian, kau beserta mahasiswa-mahasiswi lainnya diajak ke Wisma KBRI, rumah mewah berhalaman luas, tempat kediaman Pak Dubes. Disana kau makan siang dengan menu makanan asli negerimu yang lezat-lezat, makanan Indo perdana yang kau santap di negeri ini. Akhirnya, kau mampu memulihkan homesick-mu.

Di lembaran bersejarah negerimu, 17 Agustus, sekitar jam 9 pagi, kau kembali hadir di sana dengan mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam. Ya, kau mengikuti upacara bendera memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang pertama di luar negeri. Gelora semangat 45 membuncah dalam dadamu, tak pernah kau rasakan sebelumnya. Lagu kebangsaan menggetarkan relung asamu, meneguhkan impianmu.

Esok harinya, kau mulai membiasakan dirimu dengan ”nomaden”, berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Lebih dari 5x kau melakukannya. Saat itu, dua koper berukuran besar dan sedang itu sangat membebanimu. Tapi, kau menganggapnya sebagai bumbu-bumbu penyedap perjuanganmu. Kau semakin ingin lebih tegar lagi.

Dan Agustus pun berlalu…

Talking Mind’s JULY

July pun datang. Kau masih beradaptasi dengan suasana baru yang menyelimutimu. Kau semakin jarang makan nasi dan ikan. Kau mulai membiasakan lambungmu untuk mencerna makanan pokok mereka, roti besar keras, 3x sehari (kadang-kadang 2x). Kau menyebutnya ”roti buaya”. Kau juga mulai mengenal makanan-makanan ”aneh” lainnya, seperti : Fasulye, Nohut, Makarna, Börek, dll. Yang jelas, kau belum bisa makan Zeytin dan Peynir, belum bisa minum Yogurt dan Ayran. Lidahmu tak mau mengecap keanehan rasanya. Ya, semuanya berbeda dengan masakan Ibundamu. Pada saat-saat seperti itulah, kau sangat rindu masakan tangannya. ”Makanan ibundamu adalah makanan terenak di dunia”. Kau juga rindu dengan suasana rumahmu. Mungkin itulah yang disebut ”homesick”. Muncul ketika kau sedang berada di jarak 13 jam penerbangan dari rumahmu. Ya, homesick pertama dalam hidupmu !!!

Di lembaran kesepuluh, kau membeli SIM card Avea perdanamu di Taksim yang bernomor : +905068598404. Kau mendaftar HP N 3200 mu. Seiring berjalannya waktu, kau sadar kalau pelayanan TELKOMSEL ataupun operator-operator lain di negerimu jauh lebih bagus daripada yang disini.

17 Juli 2010, lembaran yang kan selalu kau kenang. Sore itu, penantian panjang berbuah hasil. Hasil yang menentukan letak jembatan impianmu. Alhamdulillah, dengan mengucap kata-kata syukur, kau diterima sebagai Mahasiswa Middle East Technical University (METU) jurusan Biological Science….

Hari-haripun berlalu, kau masih memiliki banyak waktu luang di sela-sela kursus Bahasa Turki. Kau memanfaatkan waktu itu dengan belajar persiapan English Test Proficiency METU di sebuah asrama Florya. Kau memaksa dirimu untuk belajar mandiri atau yang disebut ETUD. Lagi, kau terkenang masa-masa kehidupan di Asrama SMA Fatih BBS. Kau sempat membenci ETUD. Tapi, sekarang kau sangat bersyukur dengan paksaan ETUD 3 jam sehari itu. Manfaatnya begitu besar bagimu. Ya, kau mulai menyukainya.

Hari minggu terakhir Juli, Istanbul menjadi saksi bisu kedatangan anggota-anggota dewan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Kalian, mahasiswa-mahasiswa asal Aceh, diundang makan malam dengan mereka di sebuah restoran dekat Aya Sofya. Kau duduk berhadapan dengan Ketua DPRA di meja makan. Kau mencoba untuk tidak bersu’udzan dengan kedatangannya. Yang penting, mereka memberi motivasi untuk kalian, membuatmu semakin bersemangat berjalan di jembatan masa depan ini.

Akhir Juli pun datang. Pengumuman diterimanya kau di Universitas Selçuk Konya jurusan BIOLOGI menutup lembaran Juli. Kau bersyukur juga, tapi kau telah memilih METU sebagai jembatan masa depanmu. Semoga saja kau mampu berjalan disana….

Talking Mind’s June (part 2)

…………….

Kau juga sempat berpamitan dengan kakak-kakak tentor yang pernah mengajarimu selama beberapa minggu persiapan kelulusan. Lalu, kau melihat beberapa teman seperjuanganmu menumpahkan air matanya dalam isakan tangis. Kau sangat bersyukur karena kau dapat membendung air matamu, kau masih bisa tertawa dengan sahabat-sahabat seangkatanmu ketika membubuhkan tanda tanganmu di baju-baju mereka. Ya, kau semakin yakin dengan keputusanmu.

Sebelum masuk ke dalam ruang tunggu, kau sempatkan bola matamu melihat ke arah luar. Kau melihat ibunda masih menatapmu di balik kaca ruangan itu. Kau hanya tersenyum ke arahnya walaupun kau tau beliau sedang menangis….

Ketika kau sedang diapit oleh langit biru dan laut biru, cahaya mentari petang menerpamu. Kau menulis sebuah puisi ”Bunda” yang terangkai dari kata-kata perpisahan hatimu. Kau juga menghempaskan kenangan-kenangan yang tidak mungkin kau bawa ke jembatan masa depanmu ke langit biru. Kau biarkan mega petang Banda Aceh menelan kisah ”pseudolove”mu itu untuk selamanya. Kau ingin melupakan dia seperti ikrarmu dulu.

Di Soekarno-Hatta International Airport, menjelang tengah malam, entah apa yang merasukimu sehingga kau beranikan diri untuk menelponnya… Kau ingin mengabarkan kepergianmu dan mendengar suaranya untuk yang terakhir. Seperti biasa, kau selalu nervous ketika berbicara dengannya. Kau diliputi kebingungan yang luar biasa. Kau keluarkan kata-kata yang bergetar dan kau tak mampu mencerna keseluruhan kata-katanya. Tapi kau sangat sadar kalau semuanya telah berakhir, tanpa ada suatu awalan. Kau masih belum bisa melupakannya, tapi kau sangat yakin bisa melupakannya suatu saat nanti. Bukankah kau telah membiarkannya mengalir dalam aliran waktu. Kau juga telah mendengar penjelasannya yang panjang lebar. Kau berteriak dengan lantang dalam hati ”I can’t find another sister who is like you !!!!!”….. Akhirnya, kau hanya mampu mengucapkan : ”Good Bye my sister”…

Kau menentang arus waktu dan kembali hadir menjelang fajar terbit di lembaran 16 Juni 2009. Kau melihat dirimu sedang melakukan check-in di gate penerbangan pesawat Malaysia Airlines. Kau terlalu khawatir dengan banyaknya barang bawaanmu yang melebihi kapasitas yang ditentukan, sehingga kau mengeluarkan sebagian pakaianmu dari dalam koper dan memasukkannya ke dalam dua kantong plastik untuk kau jinjing selama perjalanan. Kau lakukan itu karena kau tidak mempunyai lembaran Rupiah lagi untuk membayar denda overweight bagasi pesawat seperti yang terjadi di bandara tanah kelahiranmu.

Kau tiba di negeri tetangga yang belum pernah kau jejaki sebelumnya. Kau memasuki Bandara Internasional Kuala Lumpur dengan limpahan syukur. Dalam penantian berjam-jam, kau takjub melihat kemegahan dan keramaian disana. Dunia pikiranmu terbuka lebih luas lagi. Kau sangat yakin, kau akan mampu memperluas duniamu ketika tiba di tujuanmu, di tempat merajut masa depanmu.

Kau terbang lagi. Kali ini, dengan Burung Besi Raksasa yang menamai dirinya ”Gulf Air”. Kau dilayani dengan kemewahan-kemewahan pelayanan yang baru pertama kali kau rasakan. Menonton film di tempat duduk, mendengar musik, menyantap makanan enak, melihat pemandangan dari atas awan, tidur dengan nyaman. Semua tidak terlepas dari karunia-Nya.

Siang hari di lembaran 16 Juni 2009, kau dapat menginjak tanah suatu negara yang berada di Jazirah Arab. Ya, kau sedang berada di Bahrain, untuk singgah sehari semalam (check in) di salah satu hotel. Hawa panas menyambut kehadiran perdanamu, seakan-akan kau berada dalam oven pemanggang. Kau dikasih kesempatan untuk merasakan udara panas yang berhembus disana, sebagai bahan renungan untukmu, supaya kau bersyukur dengan udara sejuk tropis yang menyelimuti negerimu.

17 Juni 2010, lembaran yang kan selalu kau kenang. Hari itu, dengan selamat dan sehat, kau memasuki gerbang jembatan impianmu. Ya, kau tiba di Bandara Internasional Atatürk Istanbul. Akhirnya kau mampu berdiri di tanah Kerajaan Khalifah Osmani ini. Akhirnya kau mampu mewujudkan mimpimu untuk hadir disini. Akhirnya kau disini, di negara Turki.

Banyak hal yang terjadi selama dua minggu akhir bulan Juni. Yang jelas, kau sedang menghirup udara baru, berusaha beradaptasi dengan sekelilingmu yang tampak sangat berbeda !! Lagi, kau harus meyakinkan dirimu kalau pilihanmu sangat tepat. Kau berusaha untuk bertahan disini, meskipun kau belum tau untuk seberapa lama. Yang pasti, kau akan bertahan selama mungkin demi impianmu.

Minggu pertama kedatanganmu dengan teman-teman seperjuanganmu, kau diajak jalan-jalan keliling kota Istanbul. Menikmati keindahan serta kemegahannya. Kau tinggal di sebuah apartemen (kalian meyebutnya rumah) di Avcilar dengan 3 orang temanmu untuk sementara waktu. Kalian tidur di ruang tamu. Kau bertemu dengan abi-abi (brothers) yang sangat ramah dan baik hati. Kesan pertamamu disana : orang-orang Turki sangat ramah dan menyukai orang asing. Kau sangat bersyukur dengan kondisi ini, sedikit demi sedikit kau mulai mengerti arti kehidupan. Ya, kau mulai belajar makna hidup sebenarnya melalui mereka yang membimbing dan melayanimu tanpa pamrih selama disana.

Di penghujung Juni, tepatnya di lembaran ke 28, kau harus pindah ke asrama Fatih University untuk mengikuti kursus Bahasa Turki selama sebulan. Kau menjumpai sebuah asrama berfasilitas lengkap dan mewah. Disanalah kau mulai memahami betapa pentingnya bahasa yang kau sia-siakan, yang kau abaikan dalam pelajaran 3 jam seminggu di sekolahmu dulu. Ya, Bahasa Turki.

Dan Junipun berlalu………

Talking Mind’s JUNE (part 1)

Juni telah berlalu, tetapi kau masih menyimpan lembaran-lembaran kisahnya di hatimu.

Ingatkah, awal Juni itu kau menghabiskan hari, jam, menit, dan detik-detik terakhirmu di sebuah kampung yang melahirkan kau dengan nama Muhammad Iqbal. Kampung yang selalu hadir di benakmu ketika kau sedang menginjak kedua kakimu di tanah asing, seperti yang kau lakukan saat ini. Lebih tepatnya, kau selalu menghadirkan gambaran sebuah rumah panggung Aceh sederhana yang berumur puluhan tahun itu dalam imajinasimu sebelum kau tutup kedua kelopak matamu, setiap malam datang. Rumah yang dibangun oleh kakek buyutmu dan diperluas oleh bapakmu itu sangat berharga bagimu. Kau kelihatan begitu takut kehilangan kehangatan rumah itu. Satu-satunya rumah yang mendefinisikan kata keluarga buat kau. Tempat menangis, merengek, tertawa, kau bebas melakukan apa yang kau sukai, hingga suatu saat kau pergi tanpa mengetahui seberapa lama waktu akan menjauhkan dirimu dari semuanya….

Awal Juni itu, Kau terlihat begitu yakin akan keberangkatanmu. Kau sangat bersemangat terbang ke negeri ini apalagi setelah kedua orang tuamu menyerahkan keputusan masa depanmu kepadamu. Jauh sebelum itu, mereka selalu memberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan kau tempuh, asalkan kau takkan berpaling dari Jalan-Nya. Mereka selalu membimbing dan memotivasimu, tapi kau baru sadar sekarang, ketika kau tidak dapat melihat lagi kerutan wajah mereka yang membanting tulang untuk anak-anak tercinta, ketika kau tidak dapat mencium tangan-tangan yang telah membelaimu dengan kasih sayang, ketika kau tidak dapat melihat senyuman mereka di kala anak-anaknya berkumpul bersama….

Tetapi, kau diliputi sebuah dilema di waktu itu. Antara yakin dan ragu, kau harus memilih jalan yang akan kau tempuh, hanya ada dua pilihan tersisa : kuliah di pulau kelahiranmu seperti bujukan kedua orang tuamu yang takut berpisah darimu atau kuliah di sebuah tempat nun jauh disana dengan menyebrang samudra dan melewati belasan negara, yang belum pernah kau datangi walaupun dalam mimpi.

Hari itu, akhirnya kau memilih pilihan kedua dengan hati yang yakin. Kau hanya ingin mengecap mandiri, itulah alasanmu memilih itu. Keinginan untuk mandirilah yang memacumu terbang kesini dengan penuh semangat. Ya, keinginan itu mampu mengalahkan bujukan serta rayuan ibumu. Ibumu mengalah dengan keputusanmu setelah beberapa kali menyuruhmu untuk memikirkannya dengan matang.

Di lembaran ketujuh bulan Juni, kau terlihat sangat bersyukur dalam karunia-Nya. Hari itu, orang tuamu menghadiahkan sebuah Handphone Nokia E63 untukmu. Handphone pertama yang dibelikan untuk anak keduanya. Kau mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan raut bahagiamu. Tapi kau tak sadar, waktu itu, mereka sedih karena kau telah siap, semua barang-barang kebutuhanmu yang sudah dibelikannya menandakan waktu kepergianmu sudah semakin dekat…

Kau mengajak sel-sel otakmu kembali ke lembaran 15 Juni 2009. Kau masih mengingatnya dengan jelas, bahkan kau masih mampu hadir kembali di kehampaan detik-detik perpisahan itu. Pagi itu, kau harus menerima hal-hal yang ”terakhir” untuk beberapa waktu atau untuk selamanya : tidur di kamar, sarapan dengan masakan ibu, menonton televisi, melihat wajah adik-adik kecilmu Aci dan Nelly, menyalami Mami, Abu, Misyik, Wak, Misyik Lampoih Drien, Bik, dan yang lain, melihat Dek Yi yang sangat kau sayangi, menginjak kaki di tanah kelahiranmu yang penuh dengan kenangan…. Semuanya berubah menjadi yang terakhir ketika kau meninggalkan semuanya dengan membawa dua koper di tanganmu. Kau tampak sangat tegar dan tersenyum kepada mereka. Di dalam hati, kau telah berjanji untuk membanggakan mereka.

Bandara Internasional Iskandar Muda adalah saksi bisu perpisahan itu. Kau menginjakkan kedua kakimu disana sebelum teman-teman seperjuanganmu muncul. Kau adalah pejuang pertama yang tiba disana bersama ibunda tercintamu, kemudian ayahandamu menyusul membawa nasi bungkus terakhir yang kau nikmati dengan lahap. Kau lebih banyak menghabiskan jam-jam terakhirmu disana dengan menelpon beberapa temanmu, mengabarkan keberangkatanmu. Kemudian kau juga ditemani dua sahabatmu yang mau menyempatkan dirinya menunggu bersamamu. Jauh di lubuk hatimu, kau sangat mengharapkan kedatangan dia. Kau hanya ingin mengucapkan kata maaf secara langsung kepada dia yang telah kau sakiti dengan pengakuan sukamu itu.

Dalam penantian berjam-jam itu, kau menatap wajah ibunda tercinta yang telah bersusah payah melahirkanmu ke dunia ini, kau melihat ada guratan kesedihan disana tetapi beliau menutupinya dengan senyuman. Kau tau, beliau ingin menampakkan ketegarannya padamu, supaya kau bertambah yakin dengan keputusanmu.

Akhirnya, perpisahan itupun datang.. Kau memeluk kedua orang yang sangat kau cintai itu dan mencium tangan mereka, kau sempat mendengar nasihat terakhir mereka, dan kau melihat ada butiran air mata yang mengenangi mata ibunda. Kau tak sanggup untuk menatapnya lebih lama lagi, kau tak ingin menumpahkannya juga. Kau membendung semua perasaanmu dengan senyuman dan tawamu. Kau terlihat begitu tegar dan kau hanya ingin membuktikan kepada mereka kalau kau cukup kuat untuk berjalan di jembatan masa depanmu.

>>> BERSAMBUNG KE PART 2 >>>