Kau kedinginan. Ujung jemarimu sedikit bergemetaran. Tetapi entah kenapa, di sore musim gugur ini, kau memaksanya menekan-nekan keypad HP kesayanganmu.
Kau ingin merenung. Tadi kau begitu lama melirik ke luar jendela. Hanya ingin memastikan bahwa langit belum senja. Sehingga hal sia-sia tak menjelma bukit kecemasan. Kau membiarkannya mewarnai langit sore sebab kau ingin bercermin dari cahayanya.
Sungguh banyak yang ingin kau tuliskan. Kata-kata berdesakan di suatu ruang tunggu di dalam anganmu. Berbagai cerita ingin kau sampaikan.
Di daftar playlist GOM Audio-mu, puluhan lagu juga sedang menunggu gilirannya masing-masing. Akan segera diputar menjadi nada-nada indah di telingamu. Ah, mungkin kau belum gila. Sebab sejak beberapa hari lalu kau selalu mendengarkan lagu yang sama. Sebuah lagu yang berulang kali mengingatkanmu agar ”Jangan Gila” (B.C.L).
Kau masih kedinginan. Padahal ada selimut tebal terlipat rapi di sebelahmu. Kau terlalu mempercayakan sarung bermotif kota-kotak ini untuk mengusir dingin dari sekujur tubuhmu.
Ah, kau masih belum terbiasa dengan cuaca kota ini. Meskipun empat tahun lamanya kau bertahan di sini. Mungkin karena kepulanganmu waktu itu. Cuaca desa kelahiranmu membuatmu kepanasan. Kau selalu berkeringat secara berlebihan. Sungguh perbedaan yang sangat nyata. Antara panas yang menyengat dengan panas yang bersahaja, hanya hangat, di kota Ankara.
Hari itu, Senin paginya permulaan kuliah, kau melangkah keluar dari rumah dengan gigil di badan. Sepanjang jalan ke terminal bus kau kedinginan. Kau berdiri lama, di antrian terdepan, menghalau rasa dingin yang menyerbu dari segala penjuru. Kau tak menyangka bisa kedinginan seperti itu. Sampai-sampai kau pusing dan mual-mual di dalam bus yang mengantarkanmu ke kampus itu. Kau ingin turun di tengah perjalanan. Tetapi itu tak memungkinkan. Kau harus tiba di kampus pagi-pagi. Tak ada pilihan lain selain bertahan. Kau merasa agak lega setelah menemukan permen Kopiko di saku tasmu. Permen pemberian sahabatmu di hari keberangkatan ke negeri ini telah menyelamatkanmu dari rasa sakit yang tiba-tiba.
Kau langsung sakit di esok harinya. Demam. Pusing. Tak enak badan. Kau tak bisa keluar dari rumah. Kau sadar bahwa kau butuh waktu yang lama untuk kembali terbiasa dengan cuaca kota ini.
Seminggu di kota ini, kau banyak membayangkan hari-hari lalu di kampung halaman. Banyak kerinduan yang terobati di sana. Juga begitu banyak hal yang terlewatkan begitu saja.
Beberapa malam ini kau bermimpi hal yang sama. Tentang rumah di kampung halaman beserta para penghuninya. Tentu saja, kau berada di antara mereka. Merayakan kebersamaan yang akrab dan hangat. Kau seperti kembali ke masa kecil. Bermain sepenuh hati tanpa kekhawatiran apapun. Hanya menikmati sisa-sisa hari yang terbungkus dalam ingatan lama.
Dingin kota ini menggigilkan kerinduanku. Berulang kali……….
(Hisar Evi, 01102013, 22.54)