Seperti Hujan dalam Ingatan, Ran

Ran, pada awalnya kata-kata hanya berserakan di bawah langit musim gugur kota ini. Sama seperti empat tahun lalu. Sebelum aku merangkainya jadi bertangkai-tangkai sajak. Untukmu.

Ran, tak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan, bukan? Meskipun di saat itu juga ia pura-pura lupa untuk mengenalkan teman dekatnya, si perpisahan, yang dirahasiakannya kepada kita. Sekarang kita tak bisa menyalahkannya sebab kita mengira ia hanya berteman dengan kita saja.

Ran, tak ada yang bisa melepas dengan lekas, bukan? Bukankah langit biru perlu waktu untuk murung dulu sebelum menurunkan hujan itu?

Ran, seperti hujan dalam ingatan. Kita bisa menyentuh rintik rindunya lebih lama. Dan yang basah bukanlah kita, tapi kata. Kata yang membasuh tubuhnya dengan air hujan ingatan. Lalu kita akan mengenang kata yang tergenang. Akankah ia tenggelam dan maknanya nyalang sebentar sebelum benar-benar hilang?

Ran, tak ada yang bisa membaca k i t a seutuhnya. Nyatanya persahabatan itu belum terurai sempurna dengan sepenuh k a t a. Semisal akar yang terjuntai ke kedalaman pencarian dan tak lagi mencari jalan pulang ke pangkal asal. Yang tersembunyi di bawah tanah sendiri. Yang keberadaannya hanya bisa disentuh seutuhnya oleh batang, reranting, dedaunan hijau atau kering itu. Biar angin yang membelai sebentar pucuk pohon di atasnya berlalu setelah lelah berkabar tentang rapuhnya tempat persinggahannya.

(SeuLanga 52. Hisar Evi, 30102013, 23.23)

Ketika Aku Mencintaimu dengan Sungguh-Sungguh dan Menyeluruh

:my future princess

pada tiap sentuhmu
kapal-kapal rindu berlabuh dari pelayaran jauh.

pada tiap sentuhmu
kerlip gemintang terjatuh
tertawan tatap matamu yang teduh.

pada tiap sentuhmu
ombak di laut tubuhku jadi bergemuruh.

pada tiap sentuhmu
hitam malamku luruh dan pagiku bercahaya penuh.

(STAR 788. Hisar Evi, 29102013, 12.44)

Senyap Lain yang Hinggap

/1/
dan ada yang hilang seperti bebayang
terbenam ke tubuh petang

dan kau kenang
setiap pagi menjelang.

/2/
kita tak pernah berhenti
berharap agar ada senyap lain yang hinggap di keraguan ini
biar tak ada yang berani bersuara ragu lagi.

/3/
kau tahu,
antara kau dan aku
tertinggal sebuah rumah tak berpintu
sehingga kenangan terperangkap dan pengap
setelah kau bersiasat membuka jendela lalu tanpa isyarat kau tutup
kembali satu persatu.

/4/
bahkan dalam mimpi kita jadi asing
kita pulang ke rumah masing-masing.

/5/
kau menyalahkan langit berawan
sebab rinai hujan menuai kecemasan

kau merindukanku, bukan?

(STAR 787. Hisar Evi, 22102013, 20.21)

Yang Bertamu dan Bertemu Cahaya

kau nyalakan suluh di malam jauh
sementara rinduku terkapar dihajar pijar cahaya di beranda rumahmu

kau abaikan aku
yang bertamu tanpa jemu

”sebentar lagi”, katamu
lalu kau biarkan aku raib dalam senyap yang gaib tanpamu.

(STAR 786. Subayevleri, 18102013, 21.35)

Terkenang di Lini Masa

:SeuLanga

aku terkenang
pada jemariku yang
bergemetaran ketika merangkai kata-kata menjadi seikat bunga sajak
yang harum semerbak

sebagai permintaan maaf yang mendalam
setelah diamku menikam
kekosongan yang lama terpejam.

aku hanya menyeru rindu
ketika kesepian tak lagi diucapkan sebagai kehilangan.

(STAR 785. Subayevleri, 18102013, 19.50)

Sia-Sia Kaulupakan

aku masih percaya pada
beberapa hal yang sia-sia;
seperti melupakanmu misalnya

seperti sekarang ini
aku terbangun di tepi pagi
setelah lelah seharian menunggumu terjaga dalam sebuah mimpi
yang kucipta sendiri

seperti di hari hujan itu
rinai basah jadi gelisah yang tak menentu
setelah kepergianmu yang bisu
menghentikan detak waktu.

aku masih percaya
bahwa sia-sia kau melupakan kita
sebab sejauh apapun jarak itu
dalam kerinduan juga kita bertemu.

(STAR 784. Hisar Evi, 18102013, 01.43)

Bila Kau Jatuh Cinta

bila kau jatuh cinta
kau akan percaya pada satu semesta;
pada aku saja

bila kau lihat bintang
aku jadi kerlipnya

bila kau lihat laut
aku jadi ombaknya

bila kau lihat langit
aku jadi awannya

bila kau lihat hujan
aku jadi rinai basahnya

bila kau lihat rembulan
aku jadi purnamanya

bila kau lihat pepohonan
aku jadi hijaunya

meskipun sebenarnya
aku tidak ada.

(STAR 783. Hisar Evi, 10102013, 00.30)

Sederas-derasnya Hujan, Suatu Ketika Ia Akan Reda Juga, Bisa Kembali Jadi Gerimis yang Kita Suka

kau lekas jadi deras hujan,
tak peduli hatiku kebanjiran

bukankah kau Gadis Gerimis
yang begitu anggun ketika menangis

tapi kenapa kau menghujaniku
seperti ingin menenggelamkanku?

***

kita tak pernah mengalah pada cuaca yang berubah
sebab darinya berbagai kejutan tercurahkan ke segala arah

kita harus pasrah
tapi tak menyerah
pada amuk badai kemungkinan
yang meremukkan segala keyakinan

jangan biarkan ketakutan-ketakutan yang membayang
mengikuti kita pulang.

***

dan selalu ada yang hilang
ketika kau menangis sendirian di pikiranmu yang meruang

kenapa kau tak menangis dari atas awan?
biar kesedihanmu jatuh perlahan-lahan
dan padang gersang itu akan menampungnya sebagai keajaiban
yang menumbuhkan.

(STAR 782. Hisar Evi, 09102013, 23.04)

Ran 22

/1/
Ran, gemuruh ombak tak berhenti menabuhkan kerinduan ke tempat-tempat persinggahan. Sebab selalu saja ada yang menunggu dalam kepastian kata.

/2/
Ran, pada kenangan lama juga kita berlabuh setelah ombak tak berkepastian itu bergemuruh ke segala arah.

Sebelum badai kecemasan kembali terhempas dan menjauhkan kita dari kata, biarkan kekuatannya mempersatukan kita dalam persahabatan nyata.

/3/
Ran, aku selalu dekat meskipun terlihat melesat sejauh-jauh angin.

Mana mungkin aku bisa melupakan. Sebab pada jarak kerinduan senantiasa terpasung.

/4/
Ran, senja selalu membuatku ingin membayangkan laut yang cemburu pada kemilau jingga. Barangkali ombak itu bergemuruh karenanya.

/5/
Ran, barangkali aku sebilah galah yang kalah sebab tak bisa menyabit pucuk-pucuk kesalahan yang menghijau sepanjang kemarau hati.

Maafkan.

/6/
Ran, berbait-bait kata telah berlayar ke sunyimu. Mungkin mereka ingin mendengar suara mimpimu.

Detak pergantian usia terdengar merdu. Pagi terbangun dengan kemilau cahaya baru.

/7/
Ran, pernah kita bersua di tepi masa, di bawah langit senja. Aku tak berkata apa-apa. Tetapi kau lekas membaca hikayat diamku. Lalu kita berkenalan dan terus mencatat pertemuan itu sebagai awal persahabatan.

Hari ini aku juga ingin membaca hikayat sunyimu.

/8/
Ran, gemericik ombak mengajak kata bersajak tentang persinggahan yang memikat.

Tetapi aku ingin singgah di sini saja.

/9/
Ran, ingin kusampaikan kabar padamu agar tersiar tentang debar yang tak sebentar.

Ah, kerinduan itu selalu hidup dan berdegup.

/10/
Ran, kita akan mengenang persahabatan ini seperti wajah-wajah yang tersenyum rindu di keterjauhan perjalanan. Suatu ketika ia akan meneduhkan kenangan dari hujan kecemasan.

/11/
Ran, semoga suluh itu lekas berapi, menjadi seberkas cahaya yang tak dipadamkan usia. Senantiasa menerangi kehidupan dan menjadi Ibu bagi anak-anak cahaya.

/12/
Ran, biar kunyalakan lagi rembulan di langit malam agar cahaya remang menghilang dari sudut matamu.

/13/
Ran, akulah si bintang paling jauh, yang sinarnya paling lama jatuh menyentuh permukaanmu sehingga riak-riak kecil itu bergemuruh sebagai ombak yang rapuh.

/14/
Ran, biar aku saja yang menghitung jarak di sini. Kau harus tetap melaju bersama waktu yang pergi.

/15/
Ran, bukan di angkasa aku bertemu kehampaan, tapi di dalam kata-kata yang tak tersampaikan. Biarkan mereka mencapaimu. Barangkali setelah itu kau akan memahami kekosonganku.

/16/
Ran, kita menjadi dua sisi pada kenyataan lain. Tapi bukankah di sini kita jadi dua bait yang saling melengkapi dalam sebuah puisi?

/17/
Ran, aku hanya bisa menumbuhkan janji dalam rimba sunyi, jadi rimbun daun yang anggun, jadi pucuk-pucuk yang hijau memukau, jadi dahan yang tahan, jadi akar yang membesar, untuk menghidupkan kehidupan itu sendiri.

/18/
Ran, pada mulanya kau tak pernah paham arti kedalaman sebelum kau benar-benar tenggelam di telaga yang tenang. Ternyata yang dangkal itu pemahaman yang kurang.

/19/
Ran, akulah laut yang tiba-tiba surut. Gelombang yang pasang kadang-kadang. Tetapi airku tetap sama. Tak ada yang bisa menawarkan rasa asin pada sekujur tubuhku. Tak juga cahaya rembulan itu.

/20/
Ran, telah kucoret langit dengan sederet kata sengit. Tapi ia tak menyingkapkan wajah murung. Ia balas bersitatap dengan kerlap-kerlip gemintang dari jauh yang menyentuh.

Betapa luas penerimaan langit tak berbatas itu.

/21/
Ran, meskipun siang beringsut dari kotamu, cahaya tak pernah susut dari matamu. Sebab di sana nyala pengharapan mengekalkan rekah sinarnya.

Semoga tak ada yang padam dalam hari yang tenggelam.

/22/
Ran, ada isyarat yang berkarat. Suatu pertanda yang lama, yang sama. Bahwa aku ada, aku nyata. Bisa terluka jika kau berduka. Bisa berduka jika kau terluka.

(STAR 781. Hisar Evi, 05102013, 03.56)

Itu Sebabnya Aku Tak Berhenti Berpuisi, Bermimpi, dan Barangkali Mencintaimu Juga

:my future princess

bisakah aku berhenti menulis puisi
jika seperti sekarang saja aku iseng sendiri
merangkai kata
jadi sebait sajak cinta.

bisakah aku berhenti bermimpi
tentang hangat teduh wajahmu
jika dingin kota ini
selalu mengusap kantuk ke wajahku.

bisakah aku berhenti bertanya:
”apakah kamu bisa mencintai langit yang berganti warna
seperti aku mencintai hujan yang selalu sama?”
jika kenyataannya hujan selalu kembali ke pelukan awan dan langit tak berkata apa-apa.

(STAR 780. Hisar Evi, 03102013, 23.58)

Bahasa Kerinduan

kukirim beberapa patah kata
yang susah kau terka

sebab aku telah mahir berbahasa kerinduan
setelah belajar pada kepergian
yang tak sebentar

aku tak peduli
jika sekarang kau tak mengerti sama sekali
sebab suatu ketika nanti
kau akan menggunakan bahasa yang sama untuk menanyakan kepulanganku

(STAR 779. Hisar Evi, 02102013, 20.08)

DaMar 26

”cuaca penuh rasa”
katamu

barangkali memang begitu
sebab terkadang ia bersikap tak menentu

mungkin ia menyimpan segala curahan
yang nyata,
yang tak biasa,
yang bisa menyentuh dari ketinggian
dan mengusap segala kekhawatiran

ia juga sering memberi kejutan di pergantian hari lalu
ketika ia membiru karena rindu

ah, biarkan rindu itu hinggap
menetap
setiap kali malam datang
membayang

meskipun tanpa setahumu
di luar cahaya rembulan
menahannya dari mengetuk jendela kamarmu

biar ia terlantar
di luar
sebelum rekah fajar
meluruhkannya sebagai tetes embun yang menyejukkan pagimu, DaMar.

(STAR 778. Hisar Evi, 02102013, 16.35)

Talking Mind (7)

Kau kedinginan. Ujung jemarimu sedikit bergemetaran. Tetapi entah kenapa, di sore musim gugur ini, kau memaksanya menekan-nekan keypad HP kesayanganmu.

Kau ingin merenung. Tadi kau begitu lama melirik ke luar jendela. Hanya ingin memastikan bahwa langit belum senja. Sehingga hal sia-sia tak menjelma bukit kecemasan. Kau membiarkannya mewarnai langit sore sebab kau ingin bercermin dari cahayanya.

Sungguh banyak yang ingin kau tuliskan. Kata-kata berdesakan di suatu ruang tunggu di dalam anganmu. Berbagai cerita ingin kau sampaikan.

Di daftar playlist GOM Audio-mu, puluhan lagu juga sedang menunggu gilirannya masing-masing. Akan segera diputar menjadi nada-nada indah di telingamu. Ah, mungkin kau belum gila. Sebab sejak beberapa hari lalu kau selalu mendengarkan lagu yang sama. Sebuah lagu yang berulang kali mengingatkanmu agar ”Jangan Gila” (B.C.L).

Kau masih kedinginan. Padahal ada selimut tebal terlipat rapi di sebelahmu. Kau terlalu mempercayakan sarung bermotif kota-kotak ini untuk mengusir dingin dari sekujur tubuhmu.

Ah, kau masih belum terbiasa dengan cuaca kota ini. Meskipun empat tahun lamanya kau bertahan di sini. Mungkin karena kepulanganmu waktu itu. Cuaca desa kelahiranmu membuatmu kepanasan. Kau selalu berkeringat secara berlebihan. Sungguh perbedaan yang sangat nyata. Antara panas yang menyengat dengan panas yang bersahaja, hanya hangat, di kota Ankara.

Hari itu, Senin paginya permulaan kuliah, kau melangkah keluar dari rumah dengan gigil di badan. Sepanjang jalan ke terminal bus kau kedinginan. Kau berdiri lama, di antrian terdepan, menghalau rasa dingin yang menyerbu dari segala penjuru. Kau tak menyangka bisa kedinginan seperti itu. Sampai-sampai kau pusing dan mual-mual di dalam bus yang mengantarkanmu ke kampus itu. Kau ingin turun di tengah perjalanan. Tetapi itu tak memungkinkan. Kau harus tiba di kampus pagi-pagi. Tak ada pilihan lain selain bertahan. Kau merasa agak lega setelah menemukan permen Kopiko di saku tasmu. Permen pemberian sahabatmu di hari keberangkatan ke negeri ini telah menyelamatkanmu dari rasa sakit yang tiba-tiba.

Kau langsung sakit di esok harinya. Demam. Pusing. Tak enak badan. Kau tak bisa keluar dari rumah. Kau sadar bahwa kau butuh waktu yang lama untuk kembali terbiasa dengan cuaca kota ini.

Seminggu di kota ini, kau banyak membayangkan hari-hari lalu di kampung halaman. Banyak kerinduan yang terobati di sana. Juga begitu banyak hal yang terlewatkan begitu saja.

Beberapa malam ini kau bermimpi hal yang sama. Tentang rumah di kampung halaman beserta para penghuninya. Tentu saja, kau berada di antara mereka. Merayakan kebersamaan yang akrab dan hangat. Kau seperti kembali ke masa kecil. Bermain sepenuh hati tanpa kekhawatiran apapun. Hanya menikmati sisa-sisa hari yang terbungkus dalam ingatan lama.

Dingin kota ini menggigilkan kerinduanku. Berulang kali……….

(Hisar Evi, 01102013, 22.54)

Yang Masih Berjaga-jaga

rasa kantuk masih berjaga-jaga di batas kelopak mata terdekat,

ia berusaha melekat pada kesadaran yang lengah
yang lelah
dari mimpi buruk semalam.

ia tak mengendap dalam senyap malam

kembali merayu mata untuk memejam
untuk memadam
sisa cahaya hari ini.

(STAR 777. Pursaklar, 29092013, 11.31)

SAO: Kenyataan

Kirito-kun,
di dunia permainan ini
kenyataan benar-benar menjelma
ketika kau memeluk keraguan di sekujur tubuhku.

Asuna,
aku bisa merasakannya;
debar yang tak sebentar!

dan aku tak takut lagi pada kematian
sebab aku ingin hidup selama-lamanya di hatimu.

Asuna,
kemenangan akan segera nyata
seperti cinta kita.

(STAR 776. Hisar Evi, 29092013, 03.30)