/1/
usia hanyalah serupa
dedaunan yang luruh lembar per lembar
termakan waktu…..
/2/
usia hanyalah serupa
daun yang menumpuk jatuh
dikumpulkan
lalu dirayakan
dalam suatu perhitungan besar-besaran;
disulut dengan beberapa lilin kecil yang kerlip nyala
dipadamkan dengan sebaris permintaan
semacam harapan…..
/3/
dedaunan yang berguguran itu
tak dapat dihijaukan lagi,
biarkan berlalu
menyatu bersama waktu
yang tidak bisa menumbuhkan lagi…….
/4/
pucuk kembali hijau
bertunas baru
menguncupkan daun waktu
yang memekarkan aku
hingga batas tertentu….
/5/
pagi ini aku ingin
air matamu
yang pertama kutampung sebagai embun
penyejuk daun baru ini
ya,
air matamu Ibu
yang meneteskan kebahagian tak bertepi
saat menatap lembar daun pertama
yang menguncup dari pohon kasih tulusmu…..
/6/
kita tak pernah merayakan
pergantian apapun,
kita selalu menumbuhkan kebersamaan
meskipun hanya dalam sebuah kerinduan…..
/7/
:Ibu
barangkali getar sentuh pertamamu
mendebarkan hati kecilku
yang belum mekar sempurna
lalu bertahun-tahun lamanya
engkau setia menumbuhkannya
dengan satu cinta,
”biar cintaku berbuah ranum dulu
hingga kau bisa mencicipi cinta lainnya”.
bisikmu…..
/8/
dan aku hanyalah salah satu
pohon ciptaan-Nya yang tak
memendam dendam pada
hembusan angin waktu
yang memukul jatuh
dedaunan usia satu per satu……
/9/
pagi membangunkanku dan
membuka lembar perhitungan baru
yang telah dirayakan
oleh berbait-bait sajak yang semalaman
tak memejamkan matanya……
/10/
:SeuLanga
aku tak jadi
terbakar dalam gelisah nyala
sebab kau telah
memadamkan segala resah
dengan sebuah ucapan pertama itu…..
/11/
yang luruh serta menahun
seperti dedaunan itu
adalah kerinduanku;
hijau lalu kering kemudian hijau lagi
dalam pergantian musim…..
/12/
hati tak diusik sunyi
meskipun aku diam
menerawang bulir-bulir sepi
yang berjatuhan di kota ini…..
/13/
di titik pergantian usia
aku merangkak dewasa
melalui undakan waktu
yang menanjak dan berliku……
/14/
mempuisikan hari-hari lalu
tak akan pernah selesai
sebab selalu lahir hari baru
yang sekejap berlalu…..
/15/
:SeuLanga
kau mendahului matahari
dalam memekarkan kata-kata
sebagai ucapan yang hangat
dan menyentuh rasa terdalam…..
/16/
:Nelly
sore tadi rinduku
hinggap di ujung rambutmu
yang tergerai
seakan-akan melambai;
merayuku tuk segera pulang…..
/17/
aku ingin mengecup cintamu pelan
secara perlahan-lahan
sebab aku takut membangunkan
sebuah kerinduan yang terlalu menggelisahkan…..
/18/
:Aci
detik-detik runtuh pada penantianmu
yang senantiasa berdiri tegap kaku;
menunggu kedatanganku
di ujung lorong itu….
/19/
:Ibu
kau masih menyapu
daun-daun yang jatuh pada beranda,
sementara di kota ini
detik-detik luruh begitu saja…..
/20/
cinta tak letih-letih membuai
kita yang kadang-kadang terabai
dalam kesendirian
mari bernyanyi bersama-sama
jangan terdiam pada hening masing-masing
sebab kita adalah bagian dari lirik yang
belum selesai dijadikan lagu,
kita butuh irama
dari nada apa saja……
/21/
ada kerlip gemintang
pada kerling matamu yang
masih saja menyembul dan tenggelam
menggodaku…..
/22/
aku memilah kata
di temaram cahaya
sebelum bermalam pada lamunan
yang menenggelamkan makna,
dua puluh bait sajak berkelana
dari mata ke mata
hingga menjelma seberkah cahaya
yang menerangkan doa
terbaca:
”semoga sisa umurku berkah
dan segala asa akan merekah
bersama hari-hari yang akan bertambah cerah”
(STAR 593, Hasköy, 20082012, 22.00)