Rindu dan Sepasang Sayap

:Ibunda

/1/
serangkai kata
tak mampu mengurai rindu kita,
hanya doa
yang tak putus-putusnya
menyambung kerinduan kita, Ibunda.

/2/
rindu seperti ini tak mesti menjadi sebuah sajak
sebab kerinduan kita telah menyatu dalam jarak.

/3/
Ibunda,
sebelum malam memejamkan mata
aku ingin engkau tahu bahwa
”aku merindukanmu dalam keheningan kata
aku juga merindukanmu dalam keteguhan doa”

/3/
aku tak mau berandai-andai
tapi
jika aku menjadi kekupu pertamamu yang pergi
biarkan aku terbang meninggi
dengan sepasang sayap yang engkau pintal dengan benang kelembutan dan jarum ketulusan hati,
yang membuatku berani bermimpi.

(STAR 733. METU, 29042013, 11.07)

Sejak Sajak Ini Mulai Gegabah dalam Memaknai Gelisah Kata

sejak sajak ini mulai gegabah dalam memaknai gelisah kata
selalu ada yang menulis cerita
tentang kegelisahan jiwa
di bawah langit yang berwarna…..

sejak sajak ini mulai gegabah dalam memaknai gelisah kata
hujan tak ingin segera reda
masih banyak kegelisahan tanah gersang yang harus dibasahkannya…..

sejak sajak ini mulai gegabah dalam memaknai gelisah kata
tanah tak lagi menampung segala tumpahan
ada yang diresapnya dan ada yang dibusukkan…..

sejak sajak ini mulai gegabah dalam memaknai gelisah kata;
kau menjadi langit yang berganti warna dan sesekali membiarkan hujan berjatuhan,
aku menjadi tanah yang wajahnya selalu menengadah tanpa bosan
yang hanya meresap air hujan.

(STAR 732. Yasir Evi, 28042013, 19.21)

Audio

Kau Keluhkan

 

Kau keluhkan awan hitam yang menggulung tiada surutnya
Kau keluhkan dingin malam yang menusuk hingga ke tulang
Hawa ini kau benci
Dan kau inginkan tuk segera pergi
Berdiri angkat kaki
Tiada raut riangmu di muka, pergi segera

Kau keluhkan sunyi ini dan tak ada yang menemani
Kau keluhkan risau hati yang tak kunjung juga berhenti
Rasa itu kau rindu
Dan kau inginkan tuk segera tiba
Dan kembali bermimpi
Hanyut dalam hangatnya pelukan cahaya mentari

Dan ingatlah pesan sang surya pada manusia malam itu
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada
Tuk mengingatnya di saat dia tak ada, esok pasti jumpa

Audio

Ke Entah Berantah

 

Dia datang saat hujan reda
Semerbak merekah namun sederhana
Dia bertingkah tiada bercela
Siapa kuasa

Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa suasana
Dia menghibur saat ku rapuh
Siapa kuasa

Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya
Dia bagai suara hangat senja
Senandung tanpa kata
Dia mengaburkan gelap rindu
Siapa kuasa

Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya

Audio

Di Atas Kapal Kertas

Bersembunyi di balik tirai
Memandang jalan
Gadis kecil ingin ke luar
Menantang alam

Tapi di sana hujan
Tiada berkesudahan
Tapi di sana hujan turun membasahi semua sudut kota
Hapus tiap jejak jalan pulang

Berangkat di atas kapal kertas
Menggantungkan haluan
Menambal, menyulam, menghindari karam
Berangkat di atas kapal kertas
Bersandar ke layarnya
Di antara suka, di antara duka

Bersembunyi ia di dalam
Mengintai ruang
Gadis kecil merangkai kapal
Melipat jarak

Tapi di sana hujan
Tiada berkesudahan
Tapi di sana hujan turun membasahi semua sudut kota
Hapus tiap jejak jalan pulang

Berangkat di atas kapal kertas
Menggantungkan haluan
Menambal, menyulam, menghindari karam
Berangkat di atas kapal kertas
Bersandar ke layarnya
Di antara suka, di antara duka

Audio

Rindu (musikalisasi puisi Subagio Sastrowardoyo)

Rumah kosong
Sudah lama ingin dihuni
Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa

Jendela, kursi
Atau bunga di meja
Sunyi, menyayat seperti belati

Meminta darah yang mengalir dari mimpi

Audio

Berjalan Lebih Jauh

Bangun,
Sebab pagi terlalu berharga
Tuk kita lewati
Dengan tertidur

Bangun,
Sebab hari terlalu berharga
Tuk kita lalui dengan
Bersungut-sungut

Bangun,
Sebab hidup teramat berharga
Dan kita jalani
Jangan menyerah

Berjalan lebih jauh
Menyelam lebih dalam
Jelajah semua warna
Bersama, bersama

Berjalan lebih jauh
Menyelam lebih dalam
Jelajah semua warna
Bersama, bersama, bersama

Audio

Hujan di Mimpi

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari

Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari

Sayonara Fb-san

Sayonara…….

Saya mengucapkannya pelan-pelan pada si berlayar biru itu. Hanya dia yang bisa mendengar ketika saya menulis status terakhir di tubuhnya. Seingat saya hanya satu orang teman yang sempat nge-like status itu sebelum semuanya dihilangkan untuk sementara waktu.

Kalian masih bisa menemui saya di sini. Maafkan saya yang tidak sempat pamit. Keputusan meninggalkan Fb sangat mendadak. Padahal saya masih sangat sangat membutuhkannya. Tapi….

Saya tak tahu alasan dari ucapan ”sayonara” untuk Fb itu. Biarkan saya berjeda sejenak di sini untuk menemukan alasannya. Semoga ia bisa membujukku kembali pulang 🙂

*ditengah kegalauan menjelang ujian Fisika

(CaRing 8.  METU, 27042013, 12.03)

Sebuah Perjalanan di Bawah Langit tak Berwarna

/1/
mata malam masih mengintai langkahku yang tersesat di lorong-lorong gelap
meskipun aku telah bersembunyi dari sorotan cahaya rembulan yang begitu purnama.

/2/
kerlip gemintang seperti nyala lampu-lampu kota
di kejauhan yang mengingatkan langkah-langkah tersesat di malam buta
untuk segera merencanakan arah kepergian selanjutnya
sebelum semuanya menjadi sia-sia
ketika pagi tiba
dan menjamahnya dengan cahaya.

/3/
perjalanan di malam hari adalah bermimpi
tentang petualangan di bawah langit sendiri
yang tak berwarna sama sekali.

(STAR 731. Yasir Evi, 27042013, 07.28)

Bintang Seulanga (1)

Prolog

Perlahan-lahan warna jingga di langit senja itu seperti terkelupas. Mungkin karena aku menatapnya terlalu lama. Entahlah, sejak beberapa tahun lalu penglihatanku menjadi tajam ketika senja tiba. Seolah-olah aku bisa menyentuh batas terjauh cakrawala. Barangkali aku masih mencari serpihan kenangan yang telah lama tenggelam di sana, telah tenggelam ke dasar langit malam.

Segerombolan burung gereja bertengger di dahan pohon jambu yang tumbuh tepat di hadapan bangku taman ini -tempat kesukaanku menghabiskan sisa sore bersama putri kecilku. Aku membiarkannya bermain sesuka hati bersama beberapa anak seusianya. Mereka seperti burung-burung gereja itu. Berloncatan kian kemari sebelum kembali pulang ke sarangnya. Alangkah cerianya mereka. Seolah-olah dunia ini diciptakan sebagai wahana permainan saja.

Matahari hampir tenggelam sepenuhnya di ufuk sana. Cahaya keemasannya akan segera melumuri menara mesjid yang  menyuarakan adzan maghrib ke seluruh penjuru kota.

‘’Sore ini akan berlalu seperti biasa’’, gumamku.

Perlahan aku bangkit dari bangku taman itu. Aku tersenyum melihat ke tengah taman. Si buah hati sedang bermain pasir bersama seorang bocah lelaki. Mereka hanya ditinggal berdua. Mungkin anak-anak yang lain telah diajak pulang oleh orang tua mereka.

’’Hmm, sebentar lagi maghrib, sebaiknya kita pulang’’, gumamku sendiri lagi.

‘’SeuLangaaaaaa’’, aku berteriak memanggil si buah hati sambil melambai-lambai tangan ke arahnya.

Tetapi aku tersentak. Tiba-tiba bersamaan dengan suaraku, aku mendengar sayup-sayup suara lain di kejauhan yang memanggil sebuah nama. Sebuah nama yang tak asing bagiku.

Aku memalingkan wajah ke arah suara itu. Seorang perempuan berkerudung biru sedang berjalan dan menatap ke arahku. Dalam beberapa detik mata kami sempat bertemu. Aku seperti terhanyut di telaga matanya. Tatapannya semakin dalam saja. Denyut jantungku semakin terpacu tak karuan. Aku semakin yakin kalau pernah mengalami hal serupa ini bertahun-tahun lalu. Aku tak kuasa bergerak. Hanya mematung dan membiarkan diri tenggelam di kedalaman matanya.

Tiba-tiba, si buah hati, SeuLanga, sudah berada di sampingku. Aku kembali sadar kalau aku sedang berpijak di bumi setelah ia menggoncangkan tubuhku berulang kali.  ‘’Ayah… Ayaah… ayo kita pulaang’’, ujarnya dengan manja.

‘’Oh SeuLanga sayang, hmm, kita pulang sebentar lagi yaaa’’, sahutku sambil menatapnya sekilas dan membersihkan bajunya dari butir-butir pasir.

Sejurus kemudian mataku kembali menatap ke arah perempuan itu. Ia juga sedang melihat ke arah kami sambil tersenyum. Oh, lagi-lagi, senyum itu. Senyum yang tak asing lagi bagiku. Ribuan tanda tanya menggerubungi otakku. Persis seperti laron yang menggerubungi bola lampu.

‘’Ayah, itu Bintang. Teman baru SeuLanga’’, celotehnya sambil menunjuk ke arah bocah lelaki yang sedang memegang tangan perempuan itu.

‘’Ohh, Bintang???’’, sahutku perlahan dengan suara bergetar.

‘’Iya, tadi kami membangun istana pasir yang besaar sekali. Ayo kita ke sana bentar Yah, SeuLanga mau kenalin ayah ke Bintang’’, ajaknya dengan manja.

Aku mengangguk perlahan dan mendekat ke arah perempuan itu bersamanya. Jantungku masih berdegup cepat. Aku seperti merasakan debur ombak yang meriakkan kerinduan dari lautan senja. Semakin dekat ke arahnya, berbagai serpihan kenangan bermunculan ke permukaan. Aku bertambah yakin kalau perempuan itu adalah jelmaan rinduku yang mengalun dan menjadi buih setelah penantian panjang.

Tiba-tiba aku telah berada tepat di hadapannya. Langkahku menjadi kaku. Aku berjuang keras untuk bersikap seperti biasa. Meskipun ribuan tanda tanya itu membuat suaraku bergetar hebat.

‘’Assalamu’alaikum”, sapaku.

‘’Wa’alaikumsalam’’, jawabnya sambil tersenyum.

Dadaku berdebar ketika mendengar suaranya. ‘’Tidak salah lagi, ini pasti dia’’, teriak sebuah suara dari kedalaman hatiku.

Aku masih setengah tak percaya. Cepat-cepat aku palingkan mataku. Sebab aku takut tenggelam lagi di telaga matanya. Aku melirik ke arah bocah lelaki di pangkuannya.

‘’Oh, ini teman barunya SeuLanga ya, Bintang kan? Nama yang bagus….’’, aku berusaha memecah kesunyiaan.

‘’Iya, kelihatannya anak kita sudah berteman akrab, semoga saja bisa menjadi sahabat sejati’’, sahut perempuan itu, ‘’seperti ibu dan ayahnya’’.

Aku terperanjat. Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya itu menyeret ingatanku kembali ke belasan tahun silam………….

*****bersambung…..

Eyang Subur (2)

subur-lah kesesatan di negeri yang tanahnya disebut subur
sehingga beritanya merambat cepat dan menjalar
masuk ke telingaku yang jauh, tapi sebelum ia berakar
aku menebas batang serta pucuk-pucuknya dengan pisau istighfar

lalu dalam puisi ini ia mekar
hanya sebagai potongan kabar.

(STAR 730. Bus 132, 26042013, 10.36)

Dangau Persinggahan (2)

kau tahu,
aku selalu tersesat ketika memulangkan kenangan pada tempatnya. jarak yang aku tempuh bersamanya sangat panjang dan melelahkan.

ah, ingatan itu seperti dangau persinggahan. menggoda para petualang untuk singgah sebentar. tapi bisa membuatnya betah berlama-lama.

(STAR 728. METU, 25042013, 13.41)

Dangau Persinggahan (1)

aku tak bisa menjadi sebuah rumah bagimu. sebab aku tahu kau seorang pengembara. yang tak terpikat lama pada tempat yang sama.

aku ingin menjadi dangau persinggahan saja, hanya untukmu. sebab sehebat apapun petualanganmu itu, kau pasti akan kelelahan. dan aku ada di sana: menyuguhkan jeda yang tak seberapa lama, hanya untukmu.

biarkan aku berpidah-pindah dari satu perjalananku ke perjalananmu selanjutnya. hanya sebagai dangau persinggahan saja.

(STAR 727. METU, 25042013, 13.34)

DaMar 18

kau bertanya
pada pagi yang hampir terjaga;
siapa yang bercahaya?

pagi yang lama terpejam dalam cahaya temaram
mengerjap-ngerjapkan matanya ke wajahmu yang telah memadamkan malam:

”kau kah yang bertanya
wahai yang paling bercahaya?”

*

meskipun kau dikepung awan mendung
pagi tetap mengenalmu sebagai matahari yang mengapung.

*

pagi tetap memajangmu
dan mengenangmu lewat bayang ilalang yang rebah ke arah barat
ketika ia mengiringimu perlahan-lahan ke tangkup hari,
sebelum ia jatuh tersungkur tanpa perlawanan; membiarkan kau pergi meninggi.

*

pagi tak benar-benar melupakanmu, Matahari,
meskipun ia telah kehilangan namanya sendiri.

(STAR 726. Yasir Evi, 23042013, 00.26)

Tunggu Sebentar

‘tunggu sebentar”. katamu.

derit pintu menjerit perlahan. langkah kakimu pelan. memperdengarkan suara yang samar-samar di kejauhan.

aku semakin tak sabar. menunggu.

dadaku berdebar-debar di kamar. debur yang tak menentu.

pintu kembali menjerit. meskipun jemarimu mendorongnya dengan anggun. tanpa pemaksaan.

sebilah pisau dapur menyeringai di tangan kananmu. kilatan matanya sangat tajam dan menyilaukan.

”tunggu sebentar”. kataku.

”puisi tadi belum jadi”. tanganku gemetar.

”ini pisau untuk menulis kembali puisi abadi; puisi hanya punya kita. berdua saja.”

pintu tertutup, tak jadi menjerit lagi.

(STAR 724. Yasir Evi, 18042013, 23.38)

Aside

Sajak pada Suatu Malam, Menjelang Gerimis Reda, Sebelum Sepi Kembali Merajam

/1/
nyala lampu
jadi binar matamu
yang nyalang separuh cahaya itu.

/2/
dinding putih membisu
setelah menangkap segala rayu
dari tatap sayu matamu.

/3/
kaca jendela mengaburkan sinar rembulan;
wajah purnama pucat sempurna setelah kehilangan sebuah senyuman.

/4/
kata-kata berserakan seperti ornamen lampu masa lalu
yang jatuh dan mengaduh di lantai bisu
setelah dipadamkan angin peradaban itu.

/5/
kisah lalu adalah sebatang korek api
yang nekat membakar diri
demi sebuah nyala yang sebentar.

(STAR 723. Yasir Evi, 18042013, 22.45)

Kaulah Pagi Itu, Sayangku

:my future princess

aku ingin jadi Matahari
yang tak ingkar janji
padamu, Pagi;

matahari yang membangunkan pagi
dengan sentuhan cahaya pertamanya,

pagi yang menuntun matahari perlahan-lahan ke tangkup hari.

(STAR 722. Yasir Evi, 11042013, 19.18)