DuaPuluhEnam Januari

Aku ingin menulis sepucuk surat kepada sahabat. Entah kenapa, aku berhasrat mengirim sejumlah kata untuknya. Kata-kata yang mungkin pernah salah memilih kasih tapi selalu pasrah memilah rindu yang sama.

Akhir-akhir ini aku pandai bermain kata hanya untuk menyampaikan hal-hal sepele seperti sekedar kabar dan perihal yang diseru bertele-tele; rindu!

Ah, aku urung merampungkan surat itu. Karena ia sudah pasti tahu isinya. Tentang rindu yang didaur ulang berkali-kali. Tentang rindu yang berulang-ulang bersemi.

(2014)

Selamat Menggugurkan Usia

cahaya telah luruh dari langit Kota Tua
setelah lama mengendap dalam gelap malam yang renta.

jangan bimbang, jangan gelisah
karena usia berkurang sekarang,
semoga yang hilang bertambah berkah.

(STAR 834. Eskişehir, 26012014, 16.16)

250 Km/Jam

di dalam Vagon empat
jantungku berpacu cepat
padahal kereta api ini belum berangkat.

satu setengah jam perjalanan dari ibu kota ke sebuah Kota Tua;

berapa banyak jarak akan dipangkas
biar lekas sampai?

berapa banyak sajak akan tuntas
mengantarku ke kotamu
agar kerinduan ini usai?

(STAR 833. High Speed Train -Ankara-Eskişehir-, 25012014, 20.00)

Aku Ingin Singgah Di Matamu

:Dek Yi

aku teringat tatap matamu
yang kerap berucap malu-malu.

air mataku pernah tumpah dari mata lelahmu
waktu kulontarkan kata-kata yang menelantarkanku
sendiri di kisah sunyimu.

kau pendiam
banyak memendam

tak punya dendam
pada tingkah salahku yang suka menorehkan luka yang hitam.

aku tahu
kata-kata ini tak akan sampai
tak mencapai matamu yang jauh
tak bisa mengurai
kesalahanku; satu persatu.

jika waktu telah menanggalkan jubah usiaku
ketahuilah; cintaku kekal di matamu.

(STAR 832 . Hisar Evi, 23012014 , 19.48)

Malam Itu Bulan Tidur Nyenyak di Pangkuan Ibu

pada suatu malam
bulan menghilang dari langit hitam
setelah mendengar seseorang berdendang
”ambilkan bulan Bu,
ambilkan bulan Bu
untuk menerangi tidurku yang lelap
di malam gelap”*

(STAR 830. Yıldız Evi, 21012014, 18.19)

*Lirik lagu ”Ambilkan Bulan Bu -Tasya”

Ran; Sebuah Ingatan dan Kenangan

Ran, adalah kenangan yang samar-samar menyamar sebagai kembaran ingatan. Padahal mereka dilahirkan dari rahim kata yang berbeda.

Ran, kenangan lahir dari perasaan kehilangan. Sesuatu yang ditakdirkan ada dari ketiadaan. Hanya untuk mengenang yang hilang, tapi susah ditemukan, bukan?

Ran, ingatan berasal dari hal-hal masa lalu yang membaur dengan perihal masa sekarang. Sesuatu yang didaur ulang dari kenyataan, tapi mudah dilupakan, bukan?

(SeuLanga 53. Yıldız Evi, 21012014, 17.06)

DuaPuluhSatu Januari

Akhirnya, kata-kata ingin dituliskan kembali. Setelah pergi menghilang. Sudah beberapa hari berpetualang.

Mereka mengetuk-ngetuk mataku yang menahan kantuk. Aku sedikit terkejut lalu membiarkan mereka masuk, merasuk ke dalam otakku. Di situ mereka tinggal sejenak, beranak pinak banyak-banyak. Lalu mereka berpasangan dengan makna masing-masing, saling berpegang tangan, menjadi pasangan yang menyuarakan keinginan yang sama.

Ah, kata-kata memang tak pernah kehabisan suara.

(2014)

DaMar 30

kulukis garis gerimis yang melengkung
setelah lelah menulis kata-kata puitis yang tak kunjung
menurunkan hujan buat si gadis berwajah murung.

sebelum biru langit kanvas terkelupas menjadi warna senja
biarkan aku menampung sedihnya
di ruas-ruas lengkung garis putih pelangi
agar hari murungnya
lekas berganti jadi lebih berwarna-warni.

(STAR 828. Hasköy, 14012014, 23.11)

Menyeru Rindu

kurampungkan puisi rumpang yang antara bait-baitnya kekosongan bersela-sela karena jeda kata tak usai memaknai kita yang saling abai pada tanda baca juga pada huruf i terbalik yang suka menyeru-nyeru; menyuruh kita berhati-hati agak tak keliru serta terburu-buru menulis sebaris rindu

(STAR 827. Hasköy, 14012014, 21.22)

Tigabelas Januari

Seharian di rumah teman. Sendirian. Masih mengungsikan diri dari kebisingan.

Menghabiskan dua cangkir kopi tadi pagi. Tapi secawan kenangan masih tersisa, sia-sia meruapkan aroma kerinduan dari ingatan.

HP sibuk sendiri menerima notifikasi fesbuk. Aku juga sibuk menahan kantuk dan melawan suntuk. Entah kenapa kami sama-sama sok sibuk.

(2014)

Duabelas Januari

Tadi siang, menjelang pulang dari pengungsian diri, aku berhenti di depan apartemen teman karena samar-samar mendengar Ibu jempol kaki mengomel-ngomel sendiri. Rupanya ia tidak sedang menggerutu pada sepatu. Tidak juga menjerit terjepit kesempitan yang terlalu dipaksakan sepatu seperti dua minggu lalu. Tapi ia mengeluh padaku.

Kata Ibu jempol, anak-anaknya kedinginan. Ia tak menyalahkanku karena tak bisa memeluk anak-anaknya satu persatu. Kan mereka ditakdirkan terpisah sejak lama, dari hari aku lahir. Ia cuma memintaku untuk membungkus mereka dengan kaus berlapis-lapis, jangan yang tipis. Tapi aku hanya punya sepasang kaus kaki. Sudah berhari-hari tak kuganti. Agak lusuh memang. Sudah seminggu tak kucuci. Tapi selalu kubasuh wajah Ibu jempol dan anak-anaknya sampai bersih, lima kali sehari, bahkan lebih.

Aku masih berdiri. Letih sendiri. Sedikit sedih sih. Lalu kuajak kaki melangkah lagi. Arahnya kuubah. Bukan ke rumah sendiri. Tapi ke pasar rakyat dekat ”son durak” Subayevleri.

Aku melewati para penjual buah yang ramah. Buah-buahannya tersenyum ranum. Begitu segar rekahnya; menggoda para pembeli. Tapi hatiku tak berpaling. Mataku hanya sepintas mengerling. Lekas-lekas menjauh. Cepat-cepat kudekati sebuah tenda yang entah warnanya apa setelah lama berkeliling dan mata mengerling.

Di bawah tenda besar itu ada wanita separuh baya yang sabar menungguku. Dipersilakannya aku melihat-lihat dari dekat setelah diperbolehkannya aku menyentuh-nyentuh kehidupannya dari jauh.

Aku katakan padanya; aku mau beli kaus baru untuk Ibu jempol kaki dan anak-anaknya. Meskipun lebaran masih jauh aku tetap ingin beli yang baru. Tak suka aku dengar Ibu jempol mengeluh.

Ibu itu mengerti. Beliau mengangguk dan menunduk. Barangkali Ibu jempolnya yang tua juga bijak memahami. Dua-duanya sama-sama peduli. Ah, Ibu di mana pun selalu mengerti!

”Ayo dipilih-pilih, meskipun kehidupan tak kasih banyak pilihan untuk kita, ia masih memberi warna. Seperti kaus kaki warna-warni ini. Tak peduli warnanya apa, mereka tetap sama. Sama-sama menghangatkan Ibu jempol beserta anak-anaknya. Pasti Ibu jempol tak akan mengeluh, ia bisa menerima warna apa saja.”

Aku pilih tiga warna sesuka hati. Beliau kasih tiga pasang kaus kaki. Lalu aku bayar sepenuh hati tanpa tawar-menawar lagi.

Begitulah tadi. Entah kenapa aku tak lelah lagi. Langkah kaki jadi mudah diarahkan ke rumah. Barangkali Ibu jempol sudah memberi tahu anak-anaknya tentang kaus baru. Itu sebabnya mereka ingin cepat-cepat pulang untuk memakainya.

Ah, aku terharu. Juga rindu pada Ibu……..

(2014)

Sebelas Januari

Sepulang dari ujian aku mengulang-ngulang kata hujan sambil menerawang jauh menyentuh langit terang yang sedang girang. Wajahnya biru keputih-putihan. Tak seperti matahari yang berwajah garang, berwarna nyalang.

Di kursi penumpang belakang, di dalam bus bernomer satu tiga dua, aku mengarang cerita sembarang; tentang seseorang yang suka mengulang-ngulang kata hujan.

(2014)

Seseorang di Dalam Mataku Sedang Merindukanmu

tatap mataku
tangkap rindu yang haru
sebelum kupejamkan segala rahasia
sebelum kubenamkan ia dalam air mata

(STAR 826. METU, 09012014, 17.49)

Di Ankara Ada Angin Berselimut Kabut Dingin

jangan bertamu ke kota ini di malam larut
sebab angin berselimut kabut dingin
sangat pandai berkeliaran
amat lihai berkejaran dengan langkah kakimu,

ia tak luput mencabut kehangatan tubuhmu
meskipun telah kau balut sepenuh tutup.

(STAR 825. METU, 09012014, 14.13)

Benih Hujan

kupikir kau lahir dari rahim musim hujan;
dari titik-titik dzarrah menjadi rintik-rintik basah.

kukira kau lama diperam langit yang rindu
hingga ia mendung; mengandungmu
tapi terpaksa menggugurkanmu lagi
sebab kau tak berwajah biru.

rupanya tuhanku yang menanam benihmu!

(STAR 824. METU, 09012014, 10.42)

Alangkah Rindu Jerit Kata yang Resah, Basah di Pejam Matamu

sempat kudengar gemuruh kata ketika binar matamu menyentuh maknanya dari jauh. tubuhnya seperti menggelepar dihajar pijar cahaya hitam matamu.

begitu liar ia mekar, bersuara merdu memanggil namamu.

(STAR 823. Hasköy, 07012014, 22.13)

Aku Berlindung dari Sorot Matamu yang Tajam Menusukku Diam-Diam

langit yang tak terpejam kadang-kadang
merajam mataku dengan sejuta kerlip gemintang; penuh sayatan luka,

dengan matahari yang pura-pura mengambang tenang di kejauhan yang entah batasnya,
ya, matahari bermata kejam itu selalu melepas panas ketika gugusan awan menghilang
tak peduli pada mataku yang telah lelah tak memejam semalaman.

(STAR 822. METU, 07012014, 16.21)