Sebetapa Hebatnya Ibuku

Ibu bisa mendengar kabar kerinduanku dengan sabar, dengan membesarkan langkah kakiku yang belajar menjelajah jauh, dan pasti kembali setelah lelah mengarungi perasaan yang asing.

Ibu bisa membisikkan doa dengan baik di antara suara-suara yang berisik mengusik perjalananku, sehingga doanya dipetik awan dan putik-putik hujan berjatuhan, memberi berkah pada langkah tujuanku.

Ibu bisa menemukan berbagai jawaban sebelum mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang sunyi percakapanku, seperti hidangan makan malam yang diam-diam disiapkannya sebelum perutku berbunyi.

(STAR 1006. Banda Aceh, 27072017, 22.51)

Kerinduan yang Terpisah Jauh

:Ibu

jangan bersedih, Bu
seka air matamu yang jatuh
yang mengalir jauh ke wajah lelahku

Ibu, meskipun tak serumah kita
masih berteduh di bawah atap yang sama;
atap paling rindang, ya,
langit yang rindang itu membentang luas
demi menaungi kerinduan kita yang terpisah jauh

(STAR 887. Erkam Evi, 02082014, 23.14)

Bulan Menjelang Lebaran

:Ibu

telah pasang air laut yang tak bergelombang di matamu
ketika rembulan itu menyalakan kerinduanku dengan bulat sempurna;
dengan semburat purnamanya

(STAR 886. Erkam Evi, 25072014, 16.53)

Rumah Bayangan

sia-sia menjauh dari kerinduan ini, Ibu

matahari terik siang ini melahirkan bebayang rumah yang menghadang langkah kakiku.

jangan khawatir Bu,
meskipun jauh aku masih punya rindu yang sama sebagai pintu masuk ke dalam rumah bayangan itu

dan tubuhku bisa berteduh dari penat yang sungguh sangat menyengat tanpa sentuhmu.

jangan khawatir, Bu
meskipun wajah langit cemas membiru,
aku selalu punya rindu
untuk pulang ke rumahmu setiap waktu.

(STAR 862. METU, 22052014, 18.40)

Malam Itu Bulan Tidur Nyenyak di Pangkuan Ibu

pada suatu malam
bulan menghilang dari langit hitam
setelah mendengar seseorang berdendang
”ambilkan bulan Bu,
ambilkan bulan Bu
untuk menerangi tidurku yang lelap
di malam gelap”*

(STAR 830. Yıldız Evi, 21012014, 18.19)

*Lirik lagu ”Ambilkan Bulan Bu -Tasya”

Alangkah Rindu Anakmu, Ibu

/1/
engkau biarkan aku membesarkan inginku
engkau biarkan tubuhku jauh dari rengkuhmu
agar aku bersungguh-sungguh merindukanmu, Ibu.

/2/
wahai dirimu yang berlayar seluas aku,
biarkan aku tenggelam dalam rasamu
meskipun aku tak mampu menyelam sedalam samudra kasihmu.

/3/
tak berkesudahan engkau meluruskan arah hidupku
sementara dengan tingkah salahku
aku terus menerus menambah kerutan gelisah di wajah lelahmu.

/4/
Ibu,
tak bosan-bosannya aku membaca guratan waktu di wajah tabahmu.

/5/
sekarang kita dipisahkan lautan.
kedua mata berpaling semu, saling tak temu, hanya tatap menatap di ruang rindu.

(STAR 808. Hisar Evi, 24122013, 12.34)

Dua Tiga

:20 Agustus 2013

/1/
seperti hujan yang berjatuhan
dan awan tak bisa menahannya lebih lama

seperti waktu yang tak mau menunggu
ketika menggugurkan dedaunan usiaku.

/2/
DaMar,
padam segala gelisah itu
setelah nyala matamu
menerbitkan matahari tepat pukul dua belas lewat empat malam tadi

dan aku seperti tertidur di tepian pantai
di bawah nyiur melambai
yang sangat jauh dari keriuhan
dan dari keterasingan.

/3/
puisi merayakan pergantian angka muda
yang selalu menua.

/4/
dan ada rindu yang sama
yang tak pernah berganti usia;
senantiasa muda
selalu mudah jatuh cinta.

/5/
sebenarnya langit tak berwarna

ia tetap terbentang meluas
ketika menerima biru sebagai warna kesedihan
dari matamu.

/6/
umur adalah sumur;
ia seperti terkuras habis
tetapi sebenarnya ia tak akan kekeringan selama-lamanya,
selama masih ada mata air jernih di dasarnya.

semoga saja ada musafir tua
ataupun seekor serigala
yang pulih dahaganya dari mata airku.

/7/
kenapa ulang tahun mesti dirayakan
dengan
menghitung maju
angka satu persatu?

dalam puisi ini
ada sebuah pesta
di mana siapa saja bebas berhitung mundur
dan boleh merayakan ulang tahun yang ke berapa saja.

/8/
Ibunda,
pelukmu selalu dekat dan hangat

kau telah menyalakan lelampu kerinduan
sepanjang jalan yang kutempuh dalam keterjauhan dan keterasingan
dua puluh tiga tahun lamanya.

/9/
kutitip rindu pepohonan pada hijau pegunungan,

mungkinkah ia menjatuhkan daun hijau mudanya
di telapak tanganku?

/10/
adalah kenangan
yang sering tersesat dalam ingatan

sia-sia kau lupakan.

/11/
dalam keheningan kita masing-masing
udara terus bicara
dan kita pura-pura tak mendengarnya

kita hanya menghirupnya
sebagai suguhan untuk berjeda
dari keramaian yang menyesakkan.

/12/
cinta tak pernah mengeluh
meskipun ia sering jatuh
dari mata ke hati,

barangkali itu bukan cinta;
mata yang tergoda dan salah bicara.

/13/
merayakan pergantian
tanpa ada perubahan;

sia-sia.

/14/
”di luar gerimis masih menari lincah”,
katamu

DaMar, barangkali ia sedang merayakan ulang tahunku
bersamamu.

/15/
aku menanggalkan detik demi detik
yang menahun
seperti gerimis yang menjadi rintik-rintik hujan.

/16/
meskipun dedaunan usia tanggal satu persatu
kuncup bunga itu tetap berganti gaun warna-warni
menghias musim semi
di sebuah kota yang sementara kutinggalkan
demi
(sebuah) kerinduan.

/17
di sudut ruang
cahaya remang
tanpa berbayang
sendiri, barangkali seperti aku yang mengenang
cahaya rembulan yang lebih terang.

/18/
lewat tengah malam usia menginjak
angka dua puluh tiga dan kutulis sebuah sajak
meskipun di luar anjing menyalak,

kau baca ia perlahan-lahan
lalu dadamu berdebar tak karuan
bukan sebab ketakutan
tapi karena rindu kita telah bersahutan.

/19/
sepotong rasa tak pernah berhenti berdebar
di kerinduan yang tak sebentar.

/20/
yang lebih dari sajak ini
adalah yang lebih pasti
seperti;

arti pertukaran angka yang silih berganti.

/21/
pernah aku kehilangan sebuah pagi
yang tak bernama

lalu aku menjadi seorang pemberani
yang membungkus matahari
sebagai permen berwarna cerah
untuk si gadis berbibir merah.

/22/
demi merampungkan bait-bait sajak ini
aku menyapa sepi
yang lain semacam hening yang tak bergeming
di reranting
pohon kata
yang pucuknya hijau senantiasa

sebab angin hanya berkisar dan tak benar-benar singgah untuk bersuara sebentar.

/23/
di bait terakhir
perayaan ini tak berakhir

sebab selalu ada pergantian
yang menggilir perubahan.

(STAR 770. Banda Aceh, 29082013, 22.26)

Rindu dan Sepasang Sayap

:Ibunda

/1/
serangkai kata
tak mampu mengurai rindu kita,
hanya doa
yang tak putus-putusnya
menyambung kerinduan kita, Ibunda.

/2/
rindu seperti ini tak mesti menjadi sebuah sajak
sebab kerinduan kita telah menyatu dalam jarak.

/3/
Ibunda,
sebelum malam memejamkan mata
aku ingin engkau tahu bahwa
”aku merindukanmu dalam keheningan kata
aku juga merindukanmu dalam keteguhan doa”

/3/
aku tak mau berandai-andai
tapi
jika aku menjadi kekupu pertamamu yang pergi
biarkan aku terbang meninggi
dengan sepasang sayap yang engkau pintal dengan benang kelembutan dan jarum ketulusan hati,
yang membuatku berani bermimpi.

(STAR 733. METU, 29042013, 11.07)

Muatan Rindu

:Ibu

tadi malam Bu,
bus empat satu tujuh dari kampusku
dipenuhi muatan rindu
yang terlipat rapi dalam beragam koper besar itu
yang berdesakan dalam tas kecil punya si gadis di sebelahku
yang terselip pada saku celana serta baju
yang juga terjepit di dalam sepatu-sepatu.

Ibu,
bus empat satu tujuh yang melaju
menjauh dari kampusku
seperti bersenandung merdu
sebab sedang mengantarkan
mereka ke tempat pemberhentian
yang memberangkatkan segala jenis rindu
ke masing-masing pelukan.

tadi malam Bu,
bus empat satu tujuh dari kampusku
dipenuhi muatan rindu
yang berdesakan dan menyesakkan aku
sebab sesampainya di tempat pemberhentian
tak ada yang menjemput rinduku
hanya angin asing yang memeluk tubuhku.

Ibu,
bus empat satu tujuh yang melaju
menjauh dari kampusku
seperti merintih pilu
sebab ia menahan berat muatan rindu
yang tiba-tiba bertambah banyak di dalam hatiku.

(STAR 637. Yasir Evi, 20102012, 03.43)

Kepada yang Ter-rindu

:Ibu

malam bercahaya kehidupan di tiap pelukmu. rembulan tersipu malu menatap sinar kasihmu yang tak pernah pucat itu. selalu ragam warnanya seperti lengkung pelangi yang memeluk langit.

malam juga bercahaya di tiap tatapmu. telaga matamu selalu bening dalam memaknai segala tingkah gelapku. hanya pemahaman cinta sempurna yang selalu terpantul di sana.

di dekapmu, malam tetap bercahaya meskipun gemintang menggugurkan kerlipnya dan rembulan menyembunyikan wajah keperakannya.

(STAR 612, Perçin Evi, 22092012, 23.41)

Yang Meneduhkan

:Ibu

/1/
Ibu,
aku tak ingin memejamkan mata di sini
sebab wajahmu selalu terbayang
sangat dekat di pelupuk mata
namun jemariku tak bisa menyentuhnya

/2/
Ibu,
di tanah rantau ini
bayanganku bisa menjelma rupamu
yang mengiringi langkah tertatihku

/3/
Ibu,
aku tak bisa abai
rupanya selama ini
aku menghembuskan nafas rindu yang teramat panjang

/4/
Ibu,
aku juga tak mampu
memadamkan gelisah nyala
yang menyulut kerinduan padamu

/5/
Ibu,
sebelum memejamkan mata
aku ingin rebah di pangkuanmu
sebab itu adalah tempat paling teduh
untuk segala jeda

/6/
Ibu,
biarkan aku berjeda sejenak
sambil menyentuh wajah teduhmu
meskipun hanya sekejap

(STAR 604, Hasköy, 09092012, 18.05)

Dua Dua

/1/

usia hanyalah serupa

dedaunan yang luruh lembar per lembar

termakan waktu…..

 

/2/

usia hanyalah serupa

daun yang menumpuk jatuh

dikumpulkan

lalu dirayakan

dalam suatu perhitungan besar-besaran;

disulut dengan beberapa lilin kecil yang kerlip nyala

dipadamkan dengan sebaris permintaan

semacam harapan…..

 

/3/

dedaunan yang berguguran itu

tak dapat dihijaukan lagi,

biarkan berlalu

menyatu bersama waktu

yang tidak bisa menumbuhkan lagi…….

 

/4/

pucuk kembali hijau

bertunas baru

menguncupkan daun waktu

yang memekarkan aku

hingga batas tertentu….

 

/5/

pagi ini aku ingin

air matamu

yang pertama kutampung sebagai embun

penyejuk daun baru ini

 

ya,

air matamu Ibu

yang meneteskan kebahagian tak bertepi

saat menatap lembar daun pertama

yang menguncup dari pohon kasih tulusmu…..

 

/6/

kita tak pernah merayakan

pergantian apapun,

kita selalu menumbuhkan kebersamaan

meskipun hanya dalam sebuah kerinduan…..

 

/7/

:Ibu

 

barangkali getar sentuh pertamamu

mendebarkan hati kecilku

yang belum mekar sempurna

 

lalu bertahun-tahun lamanya

engkau setia menumbuhkannya

dengan satu cinta,

 

”biar cintaku berbuah ranum dulu

hingga kau bisa mencicipi cinta lainnya”.

bisikmu…..

 

/8/

dan aku hanyalah salah satu

pohon ciptaan-Nya yang tak

memendam dendam pada

hembusan angin waktu

yang memukul jatuh

dedaunan usia satu per satu……

 

/9/

pagi membangunkanku dan

membuka lembar perhitungan baru

yang telah dirayakan

oleh berbait-bait sajak yang semalaman

tak memejamkan matanya……

 

/10/

:SeuLanga

 

aku tak jadi

terbakar dalam gelisah nyala

sebab kau telah

memadamkan segala resah

dengan sebuah ucapan pertama itu…..

 

/11/

yang luruh serta menahun

seperti dedaunan itu

adalah kerinduanku;

 

hijau lalu kering kemudian hijau lagi

dalam pergantian musim…..

 

/12/

hati tak diusik sunyi

meskipun aku diam

menerawang bulir-bulir sepi

yang berjatuhan di kota ini…..

 

/13/

di titik pergantian usia

aku merangkak dewasa

melalui undakan waktu

yang menanjak dan berliku……

 

/14/

mempuisikan hari-hari lalu

tak akan pernah selesai

sebab selalu lahir hari baru

yang sekejap berlalu…..

 

/15/

:SeuLanga

 

kau mendahului matahari

dalam memekarkan kata-kata

sebagai ucapan yang hangat

dan menyentuh rasa terdalam…..

 

/16/

:Nelly

 

sore tadi rinduku

hinggap di ujung rambutmu

yang tergerai

seakan-akan melambai;

merayuku tuk segera pulang…..

 

/17/

aku ingin mengecup cintamu pelan

secara perlahan-lahan

sebab aku takut membangunkan

sebuah kerinduan yang terlalu menggelisahkan…..

 

/18/

:Aci

 

detik-detik runtuh pada penantianmu

yang senantiasa berdiri tegap kaku;

menunggu kedatanganku

di ujung lorong itu….

 

/19/

:Ibu

 

kau masih menyapu

daun-daun yang jatuh pada beranda,

sementara di kota ini

detik-detik luruh begitu saja…..

 

/20/

cinta tak letih-letih membuai

kita yang kadang-kadang terabai

dalam kesendirian

 

mari bernyanyi bersama-sama

jangan terdiam pada hening masing-masing

sebab kita adalah bagian dari lirik yang

belum selesai dijadikan lagu,

 

kita butuh irama

dari nada apa saja……

 

/21/

ada kerlip gemintang

pada kerling matamu yang

masih saja menyembul dan tenggelam

menggodaku…..

 

/22/

aku memilah kata

di temaram cahaya

sebelum bermalam pada lamunan

yang menenggelamkan makna,

 

dua puluh bait sajak berkelana

dari mata ke mata

hingga menjelma seberkah cahaya

yang menerangkan doa

terbaca:

 

”semoga sisa umurku berkah

dan segala asa akan merekah

bersama hari-hari yang akan bertambah cerah”

 

(STAR 593, Hasköy, 20082012, 22.00)

Dear Ibunda (3)

Assalamu’alaikum,
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan cinta-Nya kepada kita.

Dear Ibunda,
Langit di kota ini sedang cerah. Awan berarakan dengan bebas di kanvas biru langit. Ia mengingatkan Ananda pada sebuah siang beberapa tahun silam.

Sepulang dari sekolah, kita duduk menunggu Ayahanda yang setia menjemput keluarganya. Ibunda membiarkan Ananda bermain bebas di halaman sekolah yang telah kosong. Sepi karena teman-teman telah pulang. Kita selalu menjadi yang terakhir pulang atau “juru kunci”.

Siang di hari-hari itu sangat cerah. Ananda baru merasakannya sekarang. Meskipun lelah menunggu ataupun letih duduk di kantor guru, ternyata ada sebuah kehangatan yang teduh di sana. Berada di sisimu di siang itu adalah kecerahan hariku.

Ibunda, maafkan Ananda yang belum bisa mencerahkan hari-hari itu. Selalu saja ada awan mendung yang Ananda halau ke langit hatimu. Ananda akan berusaha menjadi matahari bagimu. Matahari yang akan menyinari dan mencerahkan hari-harimu.

[Ankara, 24 Maret 2012]

Selalu Hangat Kasihmu

inginku

hidup dalam dekap

hangatnya sebuah pelukan

ibu,

selalu.

***

hanya sepercik kasih-Nya

dilimpahkan pada tubuh Ibu

yang jelma perapian di musim dingin,

selalu menghangatkan ingatanku.

Ibu

padamu kudekap hangat itu

tak kulepaskan kehangatan kasihmu

selalu.

(STAR 492. Hisar Evi, 10022012, 01.19)

Sebuah Kenang yang Mesra

menyentuh permukaan sebuah kata
yang dulunya terbenam mesra
di pelukanmu, Ibu.

aku hanya mengenang
tanpa sebuah balasan
yang pantas untuk menggugah rasa itu.

ohh Ibu,
kasih sayangmu masih terbenam mesra
inginku memeluknya
lagi.

(STAR 485. Akyurt, 24012012, 18.02)

Kasih yang Masih Menyentuh

Dinding dilumuri putih
Masih membisu, menatap letih
yang tak dapat kubawa pulang ke pangkuanmu
Untuk segera dilenyapkan oleh tangan ajaibmu itu.

***

Sore itu,
Kukayuh sepeda
Sepanjang jalan yang mengantarku
kembali ke pelukanmu
yang hangat
dan mengusir lelah serta penat yang kubawa pulang.

***

Hampir tiga tahun
wajahmu terbayang-bayang
dan terlukis dalam sketsa kerinduan

***

Ibu,
Sentuhan tangan lembutmu membawaku pulang
Meskipun melalui pintu ingatan.

(STAR 432. Yıldırım Evi, 23122011, 20.05)

Ibu dan Aku di Hari-Hari Itu

: Ibunda

Kau kah itu,
yang menanam rindu dalam ingatanku?

Ahh, masih serupa dulu
Sejak hari itu,
Kau beri aku tempat paling teduh, rumah pertamaku:
Kokoh, nyaman, dan hangat di rahimmu.

***

Ohh ibu,
Di hari-hari itu
Sajak-sajakku berupa tangisan manja
yang lemah dan mengusik ketenanganmu

Tetapi kau tidak pernah lupa membalas sajak-sajak nakalku
dengan kidung kasih semerdu itu:
membuaiku dalam kehangatan cinta tulus.

***

Ohh Ibu,
Di hari-hari itu
Sajak-sajakku berupa rayuan gombal
yang menggoda perhatianmu hingga seutuhnya tertuju padaku

Tetapi kau senantiasa tidak jemu
Aku rayu
Aku ganggu
Di hari-hari itu.

***

Ohh Ibu,
Aku masih sangat merindukanmu.

(STAR 430. Yıldırım Evi, 19122011, 23.12)

Nyiur Yang Melambai di Pantai Hatimu

: Ibunda tercinta

Aku ingin menyanyikan lagu itu lagi, Bu.

Suara yang keluar malu-malu dari mulut kecilku mengundang bulan sabit di wajahmu.

Sungguh benderang kebahagian itu, Bu.

”Nyiur melambai di tepi pantai…”

Di depan kelas suaraku berderai-derai

Memecah keheningan dan bertepuk pada ramai.

Kutatap wajahmu lagi, Bu.

Kau tersenyum dan suaramu menyentuh kelembutan lagu itu,

Sungguh. Aku rindu.

Aku ingin menyanyikan lagu itu lagi, Bu.

Aku ingin menjadi nyiur yang melambai di tepi pantai hatimu

Selalu.

(STAR 402. Yıldırım Evi, 18102011, 18.06)

Kasih Ibu yang Bersinar Sepanjang Masa

Ibu,
Aku ingin memeluk kehangatanmu
dalam kabut pagi ini
yang menggigilkan kerinduan di hati.

Ibu,
Kasihmu menyinari hari-hariku
serupa cahaya mentari
yang ikhlas menyinari bumi.

(STAR 399. Ankara-Kapadokya, 16102011, 07.27)

Rembulan di Wajahmu

Ibu,
saat itu aku terlampau kecil
untuk memaknai senyum di wajahmu
yang serupa bulan sabit malam ini

Ia masih bercahaya di langit malamku
yang menerangi sebuah rindu
padamu, Ibu…..

(STAR 385. Yıldırım Evi, 01102011, 22.51)