RINDU

Rindu tak lagi menyapa
Diam dalam retakan cinta
Berputar tanpa melirik duka
Tersisa dalam setiap do’a

Rindu tak lagi menelan raga
Rapuh dibayangi bingkai asa
Takluk dalam mengejar cita
Redup menahan air mata

Rindu tak lagi meracuni jiwa
Larut menyeka duka lara
Terhempas membelai asmara
Menghias rupa sebuah nama

Rindu menyentuh perih
Terhapus jejak kisah kasih
Dalam bait sajak terurai janji
Dia hanya sekuntum bunga mimpi

Rindu hanya tergeletak membisu
Terpancar dari kejora biru
Mengukir satu senyum abadi
Hanya untuk sahabat sejati…

( STAR 55. Istanbul, Turkey. 07072009, 21.24 )

Talking Mind’s June (part 2)

…………….

Kau juga sempat berpamitan dengan kakak-kakak tentor yang pernah mengajarimu selama beberapa minggu persiapan kelulusan. Lalu, kau melihat beberapa teman seperjuanganmu menumpahkan air matanya dalam isakan tangis. Kau sangat bersyukur karena kau dapat membendung air matamu, kau masih bisa tertawa dengan sahabat-sahabat seangkatanmu ketika membubuhkan tanda tanganmu di baju-baju mereka. Ya, kau semakin yakin dengan keputusanmu.

Sebelum masuk ke dalam ruang tunggu, kau sempatkan bola matamu melihat ke arah luar. Kau melihat ibunda masih menatapmu di balik kaca ruangan itu. Kau hanya tersenyum ke arahnya walaupun kau tau beliau sedang menangis….

Ketika kau sedang diapit oleh langit biru dan laut biru, cahaya mentari petang menerpamu. Kau menulis sebuah puisi ”Bunda” yang terangkai dari kata-kata perpisahan hatimu. Kau juga menghempaskan kenangan-kenangan yang tidak mungkin kau bawa ke jembatan masa depanmu ke langit biru. Kau biarkan mega petang Banda Aceh menelan kisah ”pseudolove”mu itu untuk selamanya. Kau ingin melupakan dia seperti ikrarmu dulu.

Di Soekarno-Hatta International Airport, menjelang tengah malam, entah apa yang merasukimu sehingga kau beranikan diri untuk menelponnya… Kau ingin mengabarkan kepergianmu dan mendengar suaranya untuk yang terakhir. Seperti biasa, kau selalu nervous ketika berbicara dengannya. Kau diliputi kebingungan yang luar biasa. Kau keluarkan kata-kata yang bergetar dan kau tak mampu mencerna keseluruhan kata-katanya. Tapi kau sangat sadar kalau semuanya telah berakhir, tanpa ada suatu awalan. Kau masih belum bisa melupakannya, tapi kau sangat yakin bisa melupakannya suatu saat nanti. Bukankah kau telah membiarkannya mengalir dalam aliran waktu. Kau juga telah mendengar penjelasannya yang panjang lebar. Kau berteriak dengan lantang dalam hati ”I can’t find another sister who is like you !!!!!”….. Akhirnya, kau hanya mampu mengucapkan : ”Good Bye my sister”…

Kau menentang arus waktu dan kembali hadir menjelang fajar terbit di lembaran 16 Juni 2009. Kau melihat dirimu sedang melakukan check-in di gate penerbangan pesawat Malaysia Airlines. Kau terlalu khawatir dengan banyaknya barang bawaanmu yang melebihi kapasitas yang ditentukan, sehingga kau mengeluarkan sebagian pakaianmu dari dalam koper dan memasukkannya ke dalam dua kantong plastik untuk kau jinjing selama perjalanan. Kau lakukan itu karena kau tidak mempunyai lembaran Rupiah lagi untuk membayar denda overweight bagasi pesawat seperti yang terjadi di bandara tanah kelahiranmu.

Kau tiba di negeri tetangga yang belum pernah kau jejaki sebelumnya. Kau memasuki Bandara Internasional Kuala Lumpur dengan limpahan syukur. Dalam penantian berjam-jam, kau takjub melihat kemegahan dan keramaian disana. Dunia pikiranmu terbuka lebih luas lagi. Kau sangat yakin, kau akan mampu memperluas duniamu ketika tiba di tujuanmu, di tempat merajut masa depanmu.

Kau terbang lagi. Kali ini, dengan Burung Besi Raksasa yang menamai dirinya ”Gulf Air”. Kau dilayani dengan kemewahan-kemewahan pelayanan yang baru pertama kali kau rasakan. Menonton film di tempat duduk, mendengar musik, menyantap makanan enak, melihat pemandangan dari atas awan, tidur dengan nyaman. Semua tidak terlepas dari karunia-Nya.

Siang hari di lembaran 16 Juni 2009, kau dapat menginjak tanah suatu negara yang berada di Jazirah Arab. Ya, kau sedang berada di Bahrain, untuk singgah sehari semalam (check in) di salah satu hotel. Hawa panas menyambut kehadiran perdanamu, seakan-akan kau berada dalam oven pemanggang. Kau dikasih kesempatan untuk merasakan udara panas yang berhembus disana, sebagai bahan renungan untukmu, supaya kau bersyukur dengan udara sejuk tropis yang menyelimuti negerimu.

17 Juni 2010, lembaran yang kan selalu kau kenang. Hari itu, dengan selamat dan sehat, kau memasuki gerbang jembatan impianmu. Ya, kau tiba di Bandara Internasional Atatürk Istanbul. Akhirnya kau mampu berdiri di tanah Kerajaan Khalifah Osmani ini. Akhirnya kau mampu mewujudkan mimpimu untuk hadir disini. Akhirnya kau disini, di negara Turki.

Banyak hal yang terjadi selama dua minggu akhir bulan Juni. Yang jelas, kau sedang menghirup udara baru, berusaha beradaptasi dengan sekelilingmu yang tampak sangat berbeda !! Lagi, kau harus meyakinkan dirimu kalau pilihanmu sangat tepat. Kau berusaha untuk bertahan disini, meskipun kau belum tau untuk seberapa lama. Yang pasti, kau akan bertahan selama mungkin demi impianmu.

Minggu pertama kedatanganmu dengan teman-teman seperjuanganmu, kau diajak jalan-jalan keliling kota Istanbul. Menikmati keindahan serta kemegahannya. Kau tinggal di sebuah apartemen (kalian meyebutnya rumah) di Avcilar dengan 3 orang temanmu untuk sementara waktu. Kalian tidur di ruang tamu. Kau bertemu dengan abi-abi (brothers) yang sangat ramah dan baik hati. Kesan pertamamu disana : orang-orang Turki sangat ramah dan menyukai orang asing. Kau sangat bersyukur dengan kondisi ini, sedikit demi sedikit kau mulai mengerti arti kehidupan. Ya, kau mulai belajar makna hidup sebenarnya melalui mereka yang membimbing dan melayanimu tanpa pamrih selama disana.

Di penghujung Juni, tepatnya di lembaran ke 28, kau harus pindah ke asrama Fatih University untuk mengikuti kursus Bahasa Turki selama sebulan. Kau menjumpai sebuah asrama berfasilitas lengkap dan mewah. Disanalah kau mulai memahami betapa pentingnya bahasa yang kau sia-siakan, yang kau abaikan dalam pelajaran 3 jam seminggu di sekolahmu dulu. Ya, Bahasa Turki.

Dan Junipun berlalu………

Talking Mind’s JUNE (part 1)

Juni telah berlalu, tetapi kau masih menyimpan lembaran-lembaran kisahnya di hatimu.

Ingatkah, awal Juni itu kau menghabiskan hari, jam, menit, dan detik-detik terakhirmu di sebuah kampung yang melahirkan kau dengan nama Muhammad Iqbal. Kampung yang selalu hadir di benakmu ketika kau sedang menginjak kedua kakimu di tanah asing, seperti yang kau lakukan saat ini. Lebih tepatnya, kau selalu menghadirkan gambaran sebuah rumah panggung Aceh sederhana yang berumur puluhan tahun itu dalam imajinasimu sebelum kau tutup kedua kelopak matamu, setiap malam datang. Rumah yang dibangun oleh kakek buyutmu dan diperluas oleh bapakmu itu sangat berharga bagimu. Kau kelihatan begitu takut kehilangan kehangatan rumah itu. Satu-satunya rumah yang mendefinisikan kata keluarga buat kau. Tempat menangis, merengek, tertawa, kau bebas melakukan apa yang kau sukai, hingga suatu saat kau pergi tanpa mengetahui seberapa lama waktu akan menjauhkan dirimu dari semuanya….

Awal Juni itu, Kau terlihat begitu yakin akan keberangkatanmu. Kau sangat bersemangat terbang ke negeri ini apalagi setelah kedua orang tuamu menyerahkan keputusan masa depanmu kepadamu. Jauh sebelum itu, mereka selalu memberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan kau tempuh, asalkan kau takkan berpaling dari Jalan-Nya. Mereka selalu membimbing dan memotivasimu, tapi kau baru sadar sekarang, ketika kau tidak dapat melihat lagi kerutan wajah mereka yang membanting tulang untuk anak-anak tercinta, ketika kau tidak dapat mencium tangan-tangan yang telah membelaimu dengan kasih sayang, ketika kau tidak dapat melihat senyuman mereka di kala anak-anaknya berkumpul bersama….

Tetapi, kau diliputi sebuah dilema di waktu itu. Antara yakin dan ragu, kau harus memilih jalan yang akan kau tempuh, hanya ada dua pilihan tersisa : kuliah di pulau kelahiranmu seperti bujukan kedua orang tuamu yang takut berpisah darimu atau kuliah di sebuah tempat nun jauh disana dengan menyebrang samudra dan melewati belasan negara, yang belum pernah kau datangi walaupun dalam mimpi.

Hari itu, akhirnya kau memilih pilihan kedua dengan hati yang yakin. Kau hanya ingin mengecap mandiri, itulah alasanmu memilih itu. Keinginan untuk mandirilah yang memacumu terbang kesini dengan penuh semangat. Ya, keinginan itu mampu mengalahkan bujukan serta rayuan ibumu. Ibumu mengalah dengan keputusanmu setelah beberapa kali menyuruhmu untuk memikirkannya dengan matang.

Di lembaran ketujuh bulan Juni, kau terlihat sangat bersyukur dalam karunia-Nya. Hari itu, orang tuamu menghadiahkan sebuah Handphone Nokia E63 untukmu. Handphone pertama yang dibelikan untuk anak keduanya. Kau mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan raut bahagiamu. Tapi kau tak sadar, waktu itu, mereka sedih karena kau telah siap, semua barang-barang kebutuhanmu yang sudah dibelikannya menandakan waktu kepergianmu sudah semakin dekat…

Kau mengajak sel-sel otakmu kembali ke lembaran 15 Juni 2009. Kau masih mengingatnya dengan jelas, bahkan kau masih mampu hadir kembali di kehampaan detik-detik perpisahan itu. Pagi itu, kau harus menerima hal-hal yang ”terakhir” untuk beberapa waktu atau untuk selamanya : tidur di kamar, sarapan dengan masakan ibu, menonton televisi, melihat wajah adik-adik kecilmu Aci dan Nelly, menyalami Mami, Abu, Misyik, Wak, Misyik Lampoih Drien, Bik, dan yang lain, melihat Dek Yi yang sangat kau sayangi, menginjak kaki di tanah kelahiranmu yang penuh dengan kenangan…. Semuanya berubah menjadi yang terakhir ketika kau meninggalkan semuanya dengan membawa dua koper di tanganmu. Kau tampak sangat tegar dan tersenyum kepada mereka. Di dalam hati, kau telah berjanji untuk membanggakan mereka.

Bandara Internasional Iskandar Muda adalah saksi bisu perpisahan itu. Kau menginjakkan kedua kakimu disana sebelum teman-teman seperjuanganmu muncul. Kau adalah pejuang pertama yang tiba disana bersama ibunda tercintamu, kemudian ayahandamu menyusul membawa nasi bungkus terakhir yang kau nikmati dengan lahap. Kau lebih banyak menghabiskan jam-jam terakhirmu disana dengan menelpon beberapa temanmu, mengabarkan keberangkatanmu. Kemudian kau juga ditemani dua sahabatmu yang mau menyempatkan dirinya menunggu bersamamu. Jauh di lubuk hatimu, kau sangat mengharapkan kedatangan dia. Kau hanya ingin mengucapkan kata maaf secara langsung kepada dia yang telah kau sakiti dengan pengakuan sukamu itu.

Dalam penantian berjam-jam itu, kau menatap wajah ibunda tercinta yang telah bersusah payah melahirkanmu ke dunia ini, kau melihat ada guratan kesedihan disana tetapi beliau menutupinya dengan senyuman. Kau tau, beliau ingin menampakkan ketegarannya padamu, supaya kau bertambah yakin dengan keputusanmu.

Akhirnya, perpisahan itupun datang.. Kau memeluk kedua orang yang sangat kau cintai itu dan mencium tangan mereka, kau sempat mendengar nasihat terakhir mereka, dan kau melihat ada butiran air mata yang mengenangi mata ibunda. Kau tak sanggup untuk menatapnya lebih lama lagi, kau tak ingin menumpahkannya juga. Kau membendung semua perasaanmu dengan senyuman dan tawamu. Kau terlihat begitu tegar dan kau hanya ingin membuktikan kepada mereka kalau kau cukup kuat untuk berjalan di jembatan masa depanmu.

>>> BERSAMBUNG KE PART 2 >>>