Juni telah berlalu, tetapi kau masih menyimpan lembaran-lembaran kisahnya di hatimu.
Ingatkah, awal Juni itu kau menghabiskan hari, jam, menit, dan detik-detik terakhirmu di sebuah kampung yang melahirkan kau dengan nama Muhammad Iqbal. Kampung yang selalu hadir di benakmu ketika kau sedang menginjak kedua kakimu di tanah asing, seperti yang kau lakukan saat ini. Lebih tepatnya, kau selalu menghadirkan gambaran sebuah rumah panggung Aceh sederhana yang berumur puluhan tahun itu dalam imajinasimu sebelum kau tutup kedua kelopak matamu, setiap malam datang. Rumah yang dibangun oleh kakek buyutmu dan diperluas oleh bapakmu itu sangat berharga bagimu. Kau kelihatan begitu takut kehilangan kehangatan rumah itu. Satu-satunya rumah yang mendefinisikan kata keluarga buat kau. Tempat menangis, merengek, tertawa, kau bebas melakukan apa yang kau sukai, hingga suatu saat kau pergi tanpa mengetahui seberapa lama waktu akan menjauhkan dirimu dari semuanya….
Awal Juni itu, Kau terlihat begitu yakin akan keberangkatanmu. Kau sangat bersemangat terbang ke negeri ini apalagi setelah kedua orang tuamu menyerahkan keputusan masa depanmu kepadamu. Jauh sebelum itu, mereka selalu memberi kebebasan untuk memilih jalan yang akan kau tempuh, asalkan kau takkan berpaling dari Jalan-Nya. Mereka selalu membimbing dan memotivasimu, tapi kau baru sadar sekarang, ketika kau tidak dapat melihat lagi kerutan wajah mereka yang membanting tulang untuk anak-anak tercinta, ketika kau tidak dapat mencium tangan-tangan yang telah membelaimu dengan kasih sayang, ketika kau tidak dapat melihat senyuman mereka di kala anak-anaknya berkumpul bersama….
Tetapi, kau diliputi sebuah dilema di waktu itu. Antara yakin dan ragu, kau harus memilih jalan yang akan kau tempuh, hanya ada dua pilihan tersisa : kuliah di pulau kelahiranmu seperti bujukan kedua orang tuamu yang takut berpisah darimu atau kuliah di sebuah tempat nun jauh disana dengan menyebrang samudra dan melewati belasan negara, yang belum pernah kau datangi walaupun dalam mimpi.
Hari itu, akhirnya kau memilih pilihan kedua dengan hati yang yakin. Kau hanya ingin mengecap mandiri, itulah alasanmu memilih itu. Keinginan untuk mandirilah yang memacumu terbang kesini dengan penuh semangat. Ya, keinginan itu mampu mengalahkan bujukan serta rayuan ibumu. Ibumu mengalah dengan keputusanmu setelah beberapa kali menyuruhmu untuk memikirkannya dengan matang.
Di lembaran ketujuh bulan Juni, kau terlihat sangat bersyukur dalam karunia-Nya. Hari itu, orang tuamu menghadiahkan sebuah Handphone Nokia E63 untukmu. Handphone pertama yang dibelikan untuk anak keduanya. Kau mengucapkan terima kasih kepada mereka dengan raut bahagiamu. Tapi kau tak sadar, waktu itu, mereka sedih karena kau telah siap, semua barang-barang kebutuhanmu yang sudah dibelikannya menandakan waktu kepergianmu sudah semakin dekat…
Kau mengajak sel-sel otakmu kembali ke lembaran 15 Juni 2009. Kau masih mengingatnya dengan jelas, bahkan kau masih mampu hadir kembali di kehampaan detik-detik perpisahan itu. Pagi itu, kau harus menerima hal-hal yang ”terakhir” untuk beberapa waktu atau untuk selamanya : tidur di kamar, sarapan dengan masakan ibu, menonton televisi, melihat wajah adik-adik kecilmu Aci dan Nelly, menyalami Mami, Abu, Misyik, Wak, Misyik Lampoih Drien, Bik, dan yang lain, melihat Dek Yi yang sangat kau sayangi, menginjak kaki di tanah kelahiranmu yang penuh dengan kenangan…. Semuanya berubah menjadi yang terakhir ketika kau meninggalkan semuanya dengan membawa dua koper di tanganmu. Kau tampak sangat tegar dan tersenyum kepada mereka. Di dalam hati, kau telah berjanji untuk membanggakan mereka.
Bandara Internasional Iskandar Muda adalah saksi bisu perpisahan itu. Kau menginjakkan kedua kakimu disana sebelum teman-teman seperjuanganmu muncul. Kau adalah pejuang pertama yang tiba disana bersama ibunda tercintamu, kemudian ayahandamu menyusul membawa nasi bungkus terakhir yang kau nikmati dengan lahap. Kau lebih banyak menghabiskan jam-jam terakhirmu disana dengan menelpon beberapa temanmu, mengabarkan keberangkatanmu. Kemudian kau juga ditemani dua sahabatmu yang mau menyempatkan dirinya menunggu bersamamu. Jauh di lubuk hatimu, kau sangat mengharapkan kedatangan dia. Kau hanya ingin mengucapkan kata maaf secara langsung kepada dia yang telah kau sakiti dengan pengakuan sukamu itu.
Dalam penantian berjam-jam itu, kau menatap wajah ibunda tercinta yang telah bersusah payah melahirkanmu ke dunia ini, kau melihat ada guratan kesedihan disana tetapi beliau menutupinya dengan senyuman. Kau tau, beliau ingin menampakkan ketegarannya padamu, supaya kau bertambah yakin dengan keputusanmu.
Akhirnya, perpisahan itupun datang.. Kau memeluk kedua orang yang sangat kau cintai itu dan mencium tangan mereka, kau sempat mendengar nasihat terakhir mereka, dan kau melihat ada butiran air mata yang mengenangi mata ibunda. Kau tak sanggup untuk menatapnya lebih lama lagi, kau tak ingin menumpahkannya juga. Kau membendung semua perasaanmu dengan senyuman dan tawamu. Kau terlihat begitu tegar dan kau hanya ingin membuktikan kepada mereka kalau kau cukup kuat untuk berjalan di jembatan masa depanmu.
>>> BERSAMBUNG KE PART 2 >>>