Membalas Sajakmu yang Telah Lama Berlabuh di Tepian Waktu, Untukku?

:Ceudah Keumala

telah lama aku membaca rona katamu
yang terjamah cahaya mataku
meskipun aku belum bisa menerka warna maknanya seperti apa.

lama juga
aku terdiam sebab telah kupejam
segala rahasia sajak-sajakku yang terpendam
dengan kelopak pemahaman yang baik sehingga tertutup
segala kemungkinan untuk meragukan makna yang belum terkatup
sempurna.

sungguh lama
aku ingin bertanya-tanya tentang gubuk luahan rasa itu
yang barangkali dinding rapuhnya pernah bergetar lama
ketika kata-kataku mencari tempat jeda sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya.

kau tahu
kuncup-kuncup itu hanya merekahkan persahabatan
yang hijau senantiasa,
perasaan seperti itu adalah kekupu bersayap rapuh;
yang hanya membuat bunga layu dengan segala rayu
sebab mahkota indah itu adalah bandar tempat ia singgah sebentar
untuk sekedar bertukar rindu dengan sari madu.

kau tahu
aku bukan kekupu yang ingin merekahkan keresahan bunga,
aku adalah bintang paling jauh
yang setia membasuh kegelisan penantiaannya dengan cahaya paling biru.

(STAR 715. Yasir Evi, 31032013, 18.33)

Perkenalkan (5)

aku menjadi rintik hujan kecil
yang tak ingin kembali ke pelukan awan
setelah bibir mungilnya bergetar ketika mengecup tepi daun itu.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain dan lain-lainnya.

(STAR 714. Bus 132, 30032013, 16.50)

Perkenalkan (4)

aku menjadi mendung yang bergelayutan memayungi
reranting layu dari sengatan matahari,
yang ingin segera menumpahkan rintik-rintik hujan
untuk memekarkan kelopak hijau di ujungnya.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain dan lainnya.

(STAR 713. Bus 132, 30032013, 16.43)

Perkenalkan (3)

aku menjadi gemerisik dedaunan
yang hanya mampu berbisik pada angin
sebelum jatuh tanpa bersuara ke pelukan tanah.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain-lainnya.

(STAR 712. METU, 30032013, 16.06)

Perkenalkan

aku menjadi kata yang tertunduk di hadapanmu,
di lututnya rindu bergemetaran
sebab terlalu lama ia menekuk di sudut bisu.

Ran, perkenalkan!
aku adalah aku yang lain.

(STAR 710. Bus 133, 30032013, 08.23)

Malam Penghabisan

maaf, pagi ini
tak bisa kubalas pesan-pesan singkatmu lagi,
tadi malam ponselku bunuh diri
setelah kata-kata yang sama menikam layarnya bertubi-tubi.

(STAR 709. Yasir Evi, 28032013, 15.34)

Lagi-Lagi Perihal Mimpi

aku tak sempat merekam pembicaraan kita semalam
kita sama-sama terdiam
suara-suara saling memendam;
begitu enggan melepas simpul cerita yang saling menggenggam
seerat lapisan temaram dan lukisan malam.

meskipun ingatan mimpiku telah lekang
aku yakin kau telah benar-benar datang…..

(STAR 708. METU, 22032013, 16.34)

Tentang Mimpi Semalam

ah, kadang-kadang rindu itu menjengkelkan juga,
ia membuka paksa pintu kenangan
dan memulangkan kita ke dalam ingatan
yang terbungkus rapi
sebagai mimpi sunyi
sehingga kita bisa bertemu dengan siapa saja
dan menyentuh apa saja
sepuas-puasnya,
tapi ia tak berlangsung lama
dalam sekejap kita terbangun dalam hingar-bingar kenyataan
yang mengaburkan kepulangan itu dan
rindu itu mencoba kembali mengingat; mungkin tadi pagi ia lupa menutup pintu kenangan…..

(STAR 707. Bus 423, 22032013, 08.15)

Kehilangan Sapa

Sebuah sapa dari orang yang kita rindukan memang menghangatkan hati. Tetapi kata-kata tak berkicau setiap hari. Ada kalanya ia terdiam. Bukan kehabisan kata. Barangkali ia hanya sedang memberi isyarat paling sunyi. Berharap kita mau memahami.

Tetapi aku tak bisa. Tak akan pernah bisa menerjemahkan bunyi kata yang dipendam dalam suatu ruang kedap suara. Harus ada suara. Meskipun hanya sebuah desis pelan yang nyaris tertahan. Seharusnya ia tahu, aku bukan pembaca raut wajah yang bisa menebak isi hati. Membaca wajah cuaca saja aku sering tak bisa. Buktinya, lihat saja, aku basah kuyup. Tak membawa payung meskipun tadi pagi langit berwajah mendung. Lalu, bagaimana caranya aku memahami isyarat sunyimu itu?

Ungkapkan saja. Satu kata saja. ”gelisah, sedih, rindu, suka, jengah, duka, atau cemburu….”. Apa saja. Pasti aku bisa memahami isi hatimu. Seperti ketika membaca awal kata di bait sajakmu. Aku langsung paham kemana arah kata itu melaju tanpa harus menerka-nerka atau bertanya pada bait selanjutnya.

Ayolah. Kumohon dengan sangat. Sekarang aku adalah pagi yang kehilangan kicau burung yang membangunkannya……..

(SeuLanga 47. Yasir Evi, 21032013, 19.05)

Aside

Gerimis Kata: memaknai reda, jeda, dan kita

Ran, selalu ada yang tak pernah selesai dalam sebuah cerita.

Ran, kita tak pernah kehabisan kata untuk menuliskan fakta bahwa kita saling setia dalam memaknai persahabatan dengan duka yang mengendap di dinding masa, dengan rindu tak berkesudahan, dengan sebilah rasa yang mengupas tawa, dengan jeda berkepanjangan.

Ran, gerimis sore itu berjatuhan di lain kota, aku tergelincir dari tebing ingatan setelah menampung rintik-rintiknya; kata demi kata.

Ran, adakah yang lebih setia dari gerimis? yang tak kunjung reda dalam sebuah jeda yang sebenarnya tak menunggu siapa-siapa atau kehilangan apa-apa. barangkali kitalah gerimis itu; yang ingin menghapus rintik-rintik tubuhnya sebelum memulihkan dahaga ranggas ilalang di padang gersang. oh, bukankah kita suara yang tak pernah parau sepanjang kemarau itu?

Ran, selalu ada yang tak pernah usai dalam sebuah cerita. kita tak akan pernah bisa merumuskan bab akhir atau menyusun daftar isi kembali. kita hanyalah kata yang utuh di sebuah pertengahan kisah persahabatan. yang selalu terbaca sebagai kesatuan makna meskipun ada spasi yang menggali jarak antara kita, meskipun ada titik dan koma yang memberi jeda untuk berteduh dari rangkaian berkelanjutan pada kalimat yang tak jauh berbeda.

Ran, kita selalu terbaca sebagai kesatuan makna kata persahabatan yang sama, meskipun saling berjauhan kita masih tertulis di halaman yang sama.

(STAR 705. Yasir Evi, 20032013, 23.00)

DaMar 16

seperti yang pernah kukabarkan padamu;
aku rindu hujan yang berjatuhan dari langit kotamu.

di kota ini,
gerimis dan dingin turun beriringan sebelum berjatuhan ke tubuh jalan yang tak pernah menggigil kedinginan. jalan itu masih saja menghitam dalam kepekatan malam. Hanya garis-garis putih yang membelah ruas badannya membentangkan tujuan.

”jangan salahkan jalan itu jika kau tersesat dan kedinginan. memang ia kadang-kadang menyimpang dan menjadi titik perseteruan arah. ayunkan saja langkah kakimu. jangan ragu-ragu. biar terdengar bunyi tapak perjalanan yang berani menerjang keterjauhan.”

angin berseru dan menderu setelah berjingkat-jingkat di tepi jalan itu.

aku pura-pura tak mendengar.
aku kedinginan.

bibir mungil gerimis yang masih mengecup rata tubuh kaku jalan itu setengah membeku dan hanya berbisik kecil;

”tik…. tik…. tik….”

tetapi aku mendengar bisikan lain. seperti desis suara yang berkata kerinduan dalam kedinginan dan kerterjauhan perjalanan……

(STAR 704. Bus 132, 12032013, 22.04)

Ada Kita dalam Ketiadaan Kata

Ran, ada duka yang hanya bisa terbaca
dari bibir cuaca;
rintik-rintik hujan itu….

Ran, ada surat yang kata-katanya tak ingin selesai
kurangkai
menjadi kalimat yang dengan matamu bertikai.

Ran, ada kata yang terdiam dalam keheningan kita;
jeda berkepanjangan itu…..

(STAR 703. Bus 423, 11032013, 08.17)

Puisi Sedingin Pagi Ini

angin pagi yang katanya sedingin ini
tak akan bisa merapuhkan langkah kaki
sebab aku baru saja terbangun dari mimpi pekebun
yang menggigilkan tubuh rapuh embun.

(STAR 702. Turgut Özal University, 10032013, 15.02)

Pernah Suatu Ketika

pernah suatu ketika
aku terperangkap dalam matamu yang tak mengerjap pada
rayuan kata.

pernah suatu ketika
kata-kataku menjadi kekupu pertama yang hinggap di permukaan lukamu.

pernah suatu ketika
lukamu terlalu rapuh untuk kubasuh dengan air mata
dan kau selalu tersenyum demi menawar duka.

pernah suatu ketika
duka itu menjadi rintik-rintik gerimis makna
yang turun dari matamu dan aku ingin menampungnya kata demi kata.

(STAR 701. Yasir Evi, 07032013, 22.44)

Berlayarlah di Lautku

lautku masih membiru
merindu
ombak percakapan yang sekarang deburnya membisu.

sebelum perahumu datang
lautku begitu tenang
tak ada seruan angin yang bergemuruh
awanpun terapung menjauh.

setelah perahu itu kau kayuh pulang
lautku tak kembali tenang
ombak menjadi gusar dalam gelombang besar
dan riak tak henti-hentinya mencari jejakmu ke tepian.

(STAR 700. METU, 05032013, 19.05)

Sajak Sebuah Keberangkatan Sebelum Terlelap dalam Perjalanan

aku membiarkan lelap menemani perjalanan ini. tak perlu mengerjap-ngerjapkan mata ke arah keberangkatan. beban perpisahan akan segera lenyap dalam senyap jika lelap itu mau mengatup di pelupuk mataku.

semoga dalam mimpi aku juga terlelap.

semoga lambaian tanganmu tadi tak membangunkan perjalanan panjang ini.

(STAR 699. Bus 132, 04032013, 18.18)

DaMar 15

aku yang menjadi sahabat kamu bisa bermipi hujan di pertengahan musim kemarau. meskipun wajah cuaca tak berubah sesuai inginku. walaupun matahari itu masih membakar sisa-sisa hari sepenuh hati.

tetapi dalam dirimu aku bisa saja menjadi sepekat mendung supaya awan cemburu dan lekas menurunkan hujan dari langit kotamu.

*

di musim yang hijau, aku bisa menjadi dedaunan pertama yang berguguran. tetapi jangan biarkan aku jatuh sebelum kamu berteduh di bawah kerindangannya.

*

aku yang menjadi sahabat kamu bisa bermimpi hujan. meskipun langit masih merahasiakan kapan rintik-rintiknya berjatuhan.

aku yang menjadi sahabat kamu bisa meneduhkan. walaupun aku menjadi daun yang tak bisa melawan rayuan tanah ketika merayuku untuk bergegas jatuh.

 

(STAR 698. Yasir Evi, 04032012, 00.48)

Menjadi Apa

Ada yang betah berlama-lama bertahan dalam suatu ruang kehangatan. Tak berani keluar. Takut pada dingin yang menyergap dari segala penjuru.

Bagi dia, tak ada yang lebih hangat dari kesendirian. Tak ada kesepian yang hinggap selama masih ada nyala api perapian.

Ada juga yang ingin menetap di ruang terbuka. Tanpa pintu dan tak berjendela. Membiarkan semuanya keluar dan masuk sebebas-bebasnya. Bagi dia, siapa saja bisa menyapa, dan kepergian bukan sebuah alasan yang harus direncanakan.

Dan aku tak tahu harus menjadi apa ketika kau datang. Ruang hangat itu atau ruang terbuka yang tak takut pada kehilangan……..

(CaRing 7.  Yasir Evi, 03032013, 22.54)