Tadi siang, menjelang pulang dari pengungsian diri, aku berhenti di depan apartemen teman karena samar-samar mendengar Ibu jempol kaki mengomel-ngomel sendiri. Rupanya ia tidak sedang menggerutu pada sepatu. Tidak juga menjerit terjepit kesempitan yang terlalu dipaksakan sepatu seperti dua minggu lalu. Tapi ia mengeluh padaku.
Kata Ibu jempol, anak-anaknya kedinginan. Ia tak menyalahkanku karena tak bisa memeluk anak-anaknya satu persatu. Kan mereka ditakdirkan terpisah sejak lama, dari hari aku lahir. Ia cuma memintaku untuk membungkus mereka dengan kaus berlapis-lapis, jangan yang tipis. Tapi aku hanya punya sepasang kaus kaki. Sudah berhari-hari tak kuganti. Agak lusuh memang. Sudah seminggu tak kucuci. Tapi selalu kubasuh wajah Ibu jempol dan anak-anaknya sampai bersih, lima kali sehari, bahkan lebih.
Aku masih berdiri. Letih sendiri. Sedikit sedih sih. Lalu kuajak kaki melangkah lagi. Arahnya kuubah. Bukan ke rumah sendiri. Tapi ke pasar rakyat dekat ”son durak” Subayevleri.
Aku melewati para penjual buah yang ramah. Buah-buahannya tersenyum ranum. Begitu segar rekahnya; menggoda para pembeli. Tapi hatiku tak berpaling. Mataku hanya sepintas mengerling. Lekas-lekas menjauh. Cepat-cepat kudekati sebuah tenda yang entah warnanya apa setelah lama berkeliling dan mata mengerling.
Di bawah tenda besar itu ada wanita separuh baya yang sabar menungguku. Dipersilakannya aku melihat-lihat dari dekat setelah diperbolehkannya aku menyentuh-nyentuh kehidupannya dari jauh.
Aku katakan padanya; aku mau beli kaus baru untuk Ibu jempol kaki dan anak-anaknya. Meskipun lebaran masih jauh aku tetap ingin beli yang baru. Tak suka aku dengar Ibu jempol mengeluh.
Ibu itu mengerti. Beliau mengangguk dan menunduk. Barangkali Ibu jempolnya yang tua juga bijak memahami. Dua-duanya sama-sama peduli. Ah, Ibu di mana pun selalu mengerti!
”Ayo dipilih-pilih, meskipun kehidupan tak kasih banyak pilihan untuk kita, ia masih memberi warna. Seperti kaus kaki warna-warni ini. Tak peduli warnanya apa, mereka tetap sama. Sama-sama menghangatkan Ibu jempol beserta anak-anaknya. Pasti Ibu jempol tak akan mengeluh, ia bisa menerima warna apa saja.”
Aku pilih tiga warna sesuka hati. Beliau kasih tiga pasang kaus kaki. Lalu aku bayar sepenuh hati tanpa tawar-menawar lagi.
Begitulah tadi. Entah kenapa aku tak lelah lagi. Langkah kaki jadi mudah diarahkan ke rumah. Barangkali Ibu jempol sudah memberi tahu anak-anaknya tentang kaus baru. Itu sebabnya mereka ingin cepat-cepat pulang untuk memakainya.
Ah, aku terharu. Juga rindu pada Ibu……..
(2014)