Ran, pada awalnya kata-kata hanya berserakan di bawah langit musim gugur kota ini. Sama seperti empat tahun lalu. Sebelum aku merangkainya jadi bertangkai-tangkai sajak. Untukmu.
Ran, tak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan, bukan? Meskipun di saat itu juga ia pura-pura lupa untuk mengenalkan teman dekatnya, si perpisahan, yang dirahasiakannya kepada kita. Sekarang kita tak bisa menyalahkannya sebab kita mengira ia hanya berteman dengan kita saja.
Ran, tak ada yang bisa melepas dengan lekas, bukan? Bukankah langit biru perlu waktu untuk murung dulu sebelum menurunkan hujan itu?
Ran, seperti hujan dalam ingatan. Kita bisa menyentuh rintik rindunya lebih lama. Dan yang basah bukanlah kita, tapi kata. Kata yang membasuh tubuhnya dengan air hujan ingatan. Lalu kita akan mengenang kata yang tergenang. Akankah ia tenggelam dan maknanya nyalang sebentar sebelum benar-benar hilang?
Ran, tak ada yang bisa membaca k i t a seutuhnya. Nyatanya persahabatan itu belum terurai sempurna dengan sepenuh k a t a. Semisal akar yang terjuntai ke kedalaman pencarian dan tak lagi mencari jalan pulang ke pangkal asal. Yang tersembunyi di bawah tanah sendiri. Yang keberadaannya hanya bisa disentuh seutuhnya oleh batang, reranting, dedaunan hijau atau kering itu. Biar angin yang membelai sebentar pucuk pohon di atasnya berlalu setelah lelah berkabar tentang rapuhnya tempat persinggahannya.
(SeuLanga 52. Hisar Evi, 30102013, 23.23)