Pencari Kata

Dia sedang mencari kata-kata. Katanya, dia ingin merangkainya jadi sebuah cerita. Cerita yang berbeda. Kisahnya harus beda, tak boleh sama dengan kisah dunia nyata.

Jangan kau tegur dia. Sebab jika kau berani menyapa, dia akan balik bertanya ”apakah kau punya sebuah kisah untuk kuubah menjadi kisah tak nyata?”

Bukan. Dia bukan benci pada kenyataan. Hanya saja kenyataan itu terlalu biasa untuk dituliskan. Sebab bukankah sudah kukatakan sebelumnya kalau dia mencintai sesuatu yang berbeda. Karena kisah yang jauh dari kenyataan mengajak kita berpetualang mencari kebebasan.

(SeuLanga 54. Hisar Evi, 15042014, 01.39)

Ran; Sebuah Ingatan dan Kenangan

Ran, adalah kenangan yang samar-samar menyamar sebagai kembaran ingatan. Padahal mereka dilahirkan dari rahim kata yang berbeda.

Ran, kenangan lahir dari perasaan kehilangan. Sesuatu yang ditakdirkan ada dari ketiadaan. Hanya untuk mengenang yang hilang, tapi susah ditemukan, bukan?

Ran, ingatan berasal dari hal-hal masa lalu yang membaur dengan perihal masa sekarang. Sesuatu yang didaur ulang dari kenyataan, tapi mudah dilupakan, bukan?

(SeuLanga 53. Yıldız Evi, 21012014, 17.06)

Seperti Hujan dalam Ingatan, Ran

Ran, pada awalnya kata-kata hanya berserakan di bawah langit musim gugur kota ini. Sama seperti empat tahun lalu. Sebelum aku merangkainya jadi bertangkai-tangkai sajak. Untukmu.

Ran, tak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan, bukan? Meskipun di saat itu juga ia pura-pura lupa untuk mengenalkan teman dekatnya, si perpisahan, yang dirahasiakannya kepada kita. Sekarang kita tak bisa menyalahkannya sebab kita mengira ia hanya berteman dengan kita saja.

Ran, tak ada yang bisa melepas dengan lekas, bukan? Bukankah langit biru perlu waktu untuk murung dulu sebelum menurunkan hujan itu?

Ran, seperti hujan dalam ingatan. Kita bisa menyentuh rintik rindunya lebih lama. Dan yang basah bukanlah kita, tapi kata. Kata yang membasuh tubuhnya dengan air hujan ingatan. Lalu kita akan mengenang kata yang tergenang. Akankah ia tenggelam dan maknanya nyalang sebentar sebelum benar-benar hilang?

Ran, tak ada yang bisa membaca k i t a seutuhnya. Nyatanya persahabatan itu belum terurai sempurna dengan sepenuh k a t a. Semisal akar yang terjuntai ke kedalaman pencarian dan tak lagi mencari jalan pulang ke pangkal asal. Yang tersembunyi di bawah tanah sendiri. Yang keberadaannya hanya bisa disentuh seutuhnya oleh batang, reranting, dedaunan hijau atau kering itu. Biar angin yang membelai sebentar pucuk pohon di atasnya berlalu setelah lelah berkabar tentang rapuhnya tempat persinggahannya.

(SeuLanga 52. Hisar Evi, 30102013, 23.23)

Di mana Matamu?

Barangkali aku telah mencintaimu jauh sebelum cahaya matamu menembus ke dalam kekosongan mataku.

Sejak kau menyibak riak kekhawatiran di permukaan mataku, aku menjadi pelayar yang ragu. Tak bisa lagi membaca mata angin seperti dulu. Mata ini hanya mencari-cari matamu.

(SeuLanga 51. Banda Aceh, 03092013, 22.12)

Suara Lainnya

Kau telah mengetuk pintu hatiku perlahan-lahan. Sebelumnya aku tak pernah mendengar suara itu. Sampai suatu ketika, di senja itu, kau memanggil namaku.

(SeuLanga 50. Banda Aceh, 28082013, 23.26)

Luka Lama

bagaimana cara bertaruh luka jika kita lupa pada rasa sakit yang sebenarnya masih tersisa dalam ingatan lama?

***

kita selalu mengenang banyak hal yang usang, yang terlupakan sebelum benar-benar matang, sebelum ia berbuah sebagai manis kenangan.

***

semua luka bisa disembuhkan. begitu juga dengan ingatan!

(SeuLanga 49. Yasir Evi, 16062013, 19.27)

Pintu Tertutup

adalah rindu, sisa kemarin sore. yang bertahan di luar ruangan. yang kau abaikan semalaman. kau enggan membuka pintu baginya. sebab kau takut ia akan membuka pintu lainnya dari hatimu yang terluka.

(SeuLanga 48. Yasir Evi, 16062013, 18.40)

Kehilangan Sapa

Sebuah sapa dari orang yang kita rindukan memang menghangatkan hati. Tetapi kata-kata tak berkicau setiap hari. Ada kalanya ia terdiam. Bukan kehabisan kata. Barangkali ia hanya sedang memberi isyarat paling sunyi. Berharap kita mau memahami.

Tetapi aku tak bisa. Tak akan pernah bisa menerjemahkan bunyi kata yang dipendam dalam suatu ruang kedap suara. Harus ada suara. Meskipun hanya sebuah desis pelan yang nyaris tertahan. Seharusnya ia tahu, aku bukan pembaca raut wajah yang bisa menebak isi hati. Membaca wajah cuaca saja aku sering tak bisa. Buktinya, lihat saja, aku basah kuyup. Tak membawa payung meskipun tadi pagi langit berwajah mendung. Lalu, bagaimana caranya aku memahami isyarat sunyimu itu?

Ungkapkan saja. Satu kata saja. ”gelisah, sedih, rindu, suka, jengah, duka, atau cemburu….”. Apa saja. Pasti aku bisa memahami isi hatimu. Seperti ketika membaca awal kata di bait sajakmu. Aku langsung paham kemana arah kata itu melaju tanpa harus menerka-nerka atau bertanya pada bait selanjutnya.

Ayolah. Kumohon dengan sangat. Sekarang aku adalah pagi yang kehilangan kicau burung yang membangunkannya……..

(SeuLanga 47. Yasir Evi, 21032013, 19.05)

Tentang Kekagumanku

/1/
Ran, aku mengagumimu tanpa berlebihan. tak lebih dari rasa takjub embun pada daun itu. setia menampung kesejukannya setiap pagi. tanpa berkata apa-apa…..

/2/
Ran, aku ingin mengagumimu seperti saat ini saja. ketika aku memintal katakata sebagai kehangatan makna untuk menyelimuti dinginnya aku tanpa kamu. sebab aku khawatir dan bertanya-tanya tentang cuaca di hatimu. apakah di sana bermusim dingin juga? masih hangatkah nyala api persahabatan kita?

/3/
Ran, tidak kudengar desauan angin dari kotamu. meskipun dedaunan pohon Çınar itu masih berguguran. masih menguning dan dipetik angin yang entah berhembus dari mana……

/4/
Ran, biar dedaunan itu luruh sebelum angin membawa kabar dari kotamu. aku masih tetap mengagumimu seperti ini saja……

(SeuLanga 46. Aydınlıkevler, 11072012, 16.04)

Cahaya Kebersamaan

Ran, tadi malam berjuta kenang menjelma kunang-kunang. Mereka mencari cahaya kata-kata dari ladang jiwa kita. Ingin jadikan kerlip makna. Sebab kelam telah dipekatkan. Sebab sepi sudah diheningkan oleh kerinduan.

Ran, tersenyumlah. Biarkan senyummu purnama. Sebab kunang-kunang ingin jelma gemintang di langit hatimu. Supaya mereka padu dalam cahaya kebersamaan.

(SeuLanga 45. Akyurt, 29042012, 10.28)

Curahan Kata Sebelum Turunnya Hujan

Malam memekatkan tirainya. Tak ada yang berani menyibak kelam. Yang bersembunyi dalam sunyi. Yang bertiarap dalam senyap.

Suara-suara tertelan keraguan. Bukan terabaikan. Hanya saja bergema di pinggiran. Tak sampai gaungnya ke keramaian. Karena malam masih memekatkan tirainya.

Ada yang tertahan dan ada yang tercurahkan. Serupa duka awan melalui mendungnya. Kadang-kadang dicurahkannya rintik-rintik kesedihan yang kita namakan hujan. Sering juga ia tertahan sebab ada yang tak berani melepaskan.

Kau tahu, Adinda. Perasaan ini masih mengumpal di langit hati. Tertahan dalam awan mendung. Yang tak berani mencurahkan. Sebab kepastian diselubungi rahasia-Nya.

Malam ini, hanya kucurahkan kata-kata ke ranah hatimu. Supaya basah. Agar menumbuhkan kerinduan-kerinduan.

(SeuLanga 44. Perçin Evi, 04042012, 22.55)

Buku Persahabatan (III)

Dari jauh kita menerka arti kebersamaan yang belum pernah berdekatan seperti embun dan daun. Namun kisah kita serupa pagi yang selalu bercahaya ketika mentari tiba di awal hari. Selalu saja ada kehangatan yang tiba-tiba menerpa persahabatan kita.

Kau tahu, berjilid-jilid kisah manusia telah dibukukan dalam berbagai buku cerita. Namun kita membukukan persahabatan dalam kenangan. Sebab ia tak akan pernah hilang atau terbakar. Mungkin ia hanya akan tercecer di setiap jalan setapak kehidupan yang kita lalui suatu hari nanti. Tapi jangan khawatir, kita masih bisa memungutinya kembali dengan menyusuri jejak-jejak yang membekas dalam ingatan. Bukankah kenangan itu serupa dangau persinggahan yang menggoda pengelana untuk berteduh sejenak, melepas beban perjalanan dan merenungi asal muasal langkah kakinya.

(SeuLanga 43. Perçin Evi, 03042012, 18.02)

Tumbuh di Jejakmu

Ran, pada jejak-jejak harianmu, aku ingin menanam puisi yang senantiasa bersemi. Biarkan ia tetap tumbuh meskipun kau telah berlalu ataupun berdiam di ladang jiwa seseorang yang menyemai benih-benih cinta.

Ran, ketika puisi bertunas dan setelah memekarkan makna, aku tidak akan pergi. Rinduku senantiasa menyirami tubuhnya hingga akar-akar kata menancap kuat, mungkin menjalar sampai ke hatimu.

Ran, makna puisi-puisi yang tumbuh di jejakmu selalu mekar dan bersinar di bawah tatapan purnama wajahmu, yang menyinari segenap asa ketika kau tersenyum dalam suka dan duka, yang membuat puisi-puisi itu merekah indah.

(SeuLanga 42. Menekşe Evi, 20092011, 14.07)

Jalinan Kita

Ran, masih tersimpan sejuta rahasia di kedalaman makna sebuah kata. Tak mampu terbaca oleh mata.

Ran, masihkah embun-embun makna menyejuki dedaunan pohon kata di berandamu? Walaupun hanya sebentar? Percayalah, yang tumpah ruah dari kelopak matamu adalah embun-embun itu.

Ran, sebuah kata itu adalah “kita” yang telah ditulis di lembar-lembar kitab induk yang nyata. Sebuah pertemuan dan juga sebuah perpisahan yang telah dan akan memekarkan makna persahabatan. Maka, berbagilah dalam jalinan “kita”, suka maupun duka, untuk menyalakan lentera kata di lorong-lorong kelam kehidupan fana.

(SeuLanga 41. Eskişehir, 29072011, 10.38)

Pagi yang Berdebar

Ran, pagi yang hening tidak bisa memendam debaran ombak yang meriakkan rindu ke tepian pantai sajakku. Selalu ada namamu yang mengalunkan makna dari kata-kata yang terangkai, mempuisikan debar-debar rindu.

Ran, debaran ombak itu tidak mampu berlabuh ke tepian sebelum angin kesetiaan berhembus dari lembah hati kita. Aku tidak pernah menyangka kalau angin itu singgah di dahan pepohonan katamu sebelum meriakkan rindu di pantai sajakku.

Ran, sungguh pagi di sini berdebar. Embun-embun juga bergetar setelah membisikkan kata perpisahan kepada dedaunan yang menggigil kesejukan. Dan kata-kata tetap mendebarkan makna: “sebuah kebersamaan.”

(SeuLanga 40. Eskişehir, 27072011, 12.18)

Tersenyumlah Ran

Ran, tersenyumlah supaya muncul bulan sabit di langit malamku. Menemani kerlip gemintang yang berbagi cahaya rindu. Kemudian kudekap erat mimpi-mimpimu. Membiarkannya rebah dalam kuasa-Nya.

Ran, jika kau tersenyum, akan muncul bulan purnama penuh di langit malamku. Menerangi pepohonan kata yang aku tanam di berandamu. Kemudian dedaunannya meluruhkan makna. “Sebuah kesetian.”

(SeuLanga 39. Eskişehir, 19072011, 20.34)

Langkah-Langkahmu

: Nelly Jumiliensi Putri

Di celah-celah dedaunan rindu, kuhembuskan namamu, bidadari kecilku. Bawalah kerinduanku bersamamu. Kemanapun kaki lincahmu melangkah, ada doa yang kurangkai menjadi payung peneduh kelelahanmu.

Aku tidak akan menghitung berapa purnama telah berlalu, sementara rinduku menderu jauh ke tanah lembab, asal muasal dari langkah-langkah kecilmu. “Melangkahlah hingga tunas-tunas rinduku menguncup, memekarkan namamu”.

Ada yang menuntunmu, Bidadari kecilku. Yang selalu dekat denganmu. Mendekatlah kepada-Nya hingga langit dan bumi ikut memberikan keteduhan kepada langkah-langkah kecilmu. “A bright future is waiting for you”.

(SeuLanga 38. Eskişehir, 12072011, 12.12)

Nyata

Ran, kata-kataku menyapa. Adakah sapa yang bertemu dengan degup di keramaian sana?

Kemarin, jemari kupaksa menulis tentang debar yang berombak di tepi kerinduan. Tetapi imaji tidak melahirkan kata-kata. Kau tahu kenapa? Karena ini kisah nyata.

Ran, aku telah melupakan dedaunan yang kehijauan dalam puisi-puisiku dulu. Kau harus tahu kalau kata-kataku salah menamai makna sehingga aku memujanya. Ya, aku telah membohongi daun yang sempat hijau dalam kata-kataku. Kisah itu tidak nyata…..

(SeuLanga 37. Eskişehir, 04072011, 17.46)

Jauh di Mata, Dekat di Hati

Pandangmu sedang membentur gumpalan awan yang sedang membelai puncak bukit tandus di nun kejauhan sana. Gumpalan putih raksasa itu bergerak serentak ke suatu arah yang tak berujung. Kau melempar sebuah tanya. Akankah ia diarak ke langit desamu?

“Datanglah ke langit desaku”, rayu pandangmu dengan lirih. “Di sana hijau pepohonan akan meneduhkanmu dan semilir angin sawah akan membelaimu lembut”.

Senyap. Tidak ada jawab yang terucap. Tiada pula tanda-tanda kelahiran jawaban yang kau nanti. Akhirnya kau memejamkan mata. Seketika pandangmu hilang. Gelap.

Tiba-tiba hatimu menyalakan sebuah cahaya. Terpendar dalam jiwa. Ia menerangi sebuah kerinduan yang telah lama bertahta di sana. Cahaya rindu itu berkata, “rayuanmu adalah kebohongan kata. Kedua matamu berdusta. Kau hanya ingin memanfaatkan gumpalan awan untuk membawa pandangmu ke langit desa di nun kejauhan sana. Karena matamu sangat sangat merindukan sebuah tatapan ke arah wajah-wajah yang membesarkanmu dalam kata keluarga.”

Kau masih terdiam. Di lidah, kata-kata bungkam. Mata terpejam. Hatimu melahirkan jawaban, “pandang membuat jarak semakin jauh, tetapi aku membuat jarak semakin dekat, terutama jarak yang terjalin di antara dua hati yang saling merindukan”.

(SeuLanga 36. Beypazarı, 17062011, 10.27)

Galau kah?

Sungguh. Aku belum tahu definisi dari kata galau. Tapi aku yakin, apapun itu, aku bisa menghalau ia yang bernama galau.

Senja telah berwarna jingga di kejauhan sana. Matahari bersiap-siap tenggelam karena sebentar lagi rembulan akan merebut tahta. Kelam akan datang bersama senyap. Tetapi taman ini masih gaduh oleh suara-suara riuh. Aku bertanya-tanya dalam kesunyian hati, “bisakah gaduh itu padam?”. Aku ingin taman ini sepi sehingga aku bisa merelakan kehilangan wajah-wajah orang tercinta yang telah aku lukis dalam wajah senja. Karena aku cemburu melihat mereka tertawa bersama keluarga sambil menyusuri taman ini dengan bahagia dalam sebuah kebersamaan yang sangat aku rindukan.

Sudah aku katakan. Aku tidak memperdulikan galau. Aku hanya menulis kata-kata yang telah lama menyuara di kedalaman relung hati. Entahlah, aku ingin mengusir galau di bangku taman ini.

(SeuLanga 35. Altınpark, 12062011, 20.19)