Bagaimana kabarnya bintang-bintang kertas, Ran? Masihkah mereka merayumu untuk tersenyum dalam duka? Apakah ada nyanyian dilantunkan untuk mengusir sepimu? Masihkah mereka setia membendung sungai-sungai di bawah kelopak matamu?
Ran, aku menyuara lewat bintang-bintang kertas. Terdengarkah di kedalaman hatimu? Biarkan mereka menjaga harapan-harapan. Mungkin suatu saat harapan akan menguncup bersama takdirNYA. Akankah ia bertunas dan bersemi di sana?
Kau pernah membenci ibu kota karena melenyapkan benderang bintang-bintangmu. Tiada lelah mata beningmu menerawang menembus larut malam. Kemudian katamu “cukup, kututup mata dan kurasa di hati ini ada bintangku, yang abadi di dalam hati”.
Ran, syukurku tidak akan pudar. Terima kasih untuk persahabatan yang kita tanam di ladang jiwa. Terima kasih untuk segala-galanya. Aku akan abadi di dalam munajatmu. Aku akan abadi di dalam sajakmu. Aku akan abadi di dalam asamu. Begitu juga denganmu.
Ran, suaraku tak akan padam tertelan angin. Ia akan hidup bersama suka dukamu. Biarkan ia menyuara bersama bintang-bintang kertas….
(SeuLanga 24. Yağmur Evi, 02042011, 21.34)